Ahad 17 Apr 2022 12:18 WIB

KPPPA Kawal Kasasi Atas Vonis Bebas Terdakwa Pelecehan Seksual di UNRI

Hakim seharusnya mempertimbangkan relasi tak setara laki-laki dan perempuan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Ratna Puspita
Ilustrasi. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengawal penyusunan permohonan Kasasi atas putusan bebas terdakwa kasus pelecehan seksual di Universitas Riau (UNRI).
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengawal penyusunan permohonan Kasasi atas putusan bebas terdakwa kasus pelecehan seksual di Universitas Riau (UNRI).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengawal penyusunan permohonan Kasasi atas putusan bebas terdakwa kasus pelecehan seksual di Universitas Riau (UNRI). Hal ini sebagai upaya memberikan keadilan dan pemenuhan hak kepada korban.

Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan, Margareth Robin Korwa menyatakan ketimpangan di Indonesia masih terjadi, khususnya terkait isu perempuan dan anak. Salah satunya adalah kasus kekerasan seksual yang masih subur di lingkungan perguruan tinggi yang memprihatinkan. 

Baca Juga

"Kekerasan di perguruan tinggi kerap terjadi dan tidak tertangani dengan semestinya," kata Margareth dalam keterangan pers, Ahad (17/4/2022).

Margareth menegaskan dalam konteks kasus pelecehan seksual di UNRI, hakim melakukan diskriminasi terhadap saksi korban kekerasan seksual (L). Padahal sudah sepatutnya saksi korban diberikan perlindungan sebagaimana mestinya.

"Relasi hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak setara juga patut dipertimbangkan oleh hakim dalam memutus perkara," ujar Margareth. 

Margareth melanjutkan, dalam memutuskan perkara hakim dinilai masih “gagap gender”. Hal ini menjadi faktor yang harus diperhatikan dalam menangani kasus kekerasan seksual ke depannya. 

"Ini masih menjadi perjalanan panjang bagi kita untuk mendorong agar hakim-hakim dalam memutus perkara itu memakai perspektif yang jernih terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan. Banyak hakim yang masih kurang memahami atau mengenali perspektif gender, mereka memutus perkara hanya berdasarkan undang-undang, namun tidak menggunakan rasa keadilan sebagai landasan filosofis di dalam memutuskan perkara," ucap Margareth.

Margareth juga mengutarakan terkait dengan kekurangan alat bukti saksi dalam kasus UNRI. Ia menyarankan majelis hakim menggunakan tafsir dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa saksi tidak harus melihat, mendengar dan mengalami tindak pidana. 

"Sebab dalam kasus pencabulan dan persetubuhan hampir mustahil ada saksi yang melihat dan mendengar peristiwa pidana kecuali saksi korban," ungkap Margareth. 

Komisioner Komisi Kejaksaan Ressi Anna mendapatkan informasi bahwa putusan kasus pelecehan di UNRI membebaskan pelaku dikarenakan alat bukti memang minim. Padahal, pelecehan dengan sentuhan dan verbal tersebut terkadang tidak ada alat bukti. 

"Di sini diperlukan sensitivitas dari hakim yang memiliki keyakinan," sebut Ressi. 

Ressi menegaskan meski putusan telah ditetapkan, proses penyusunan Kasasi harus dikawal sebaik mungkin. "Tujuannya agar mendapatkan hasil yang terbaik untuk keadilan dan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan," kata Ressi. 

Saksi ahli, Ahmad Sofian, menyayangkan tafsir klasik yang digunakan oleh Pengadilan Negeri Riau dalam memberikan putusan. Hal tersebut dikarenakan tafsir klasik terbatas pada ancaman kekerasan fisik saja. Ia mengingatkan hakim menggunakan tafsir hukum progresif yang lebih melihat perkembangan terbaru doktrin hukum pidana. 

"Dalam tafsir hukum progresif, tafsir atas unsur tertentu didasarkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan juga perkembangan teori-teori, sehingga mampu menafsirkan ancaman kekerasan termasuk didalamnya ancaman kekerasan fisik dan relasi kuasa," ungkap Ahmad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement