Krisis Suriah, Tak Ada Makanan Atau Minuman Tradisional Lagi Saat Ramadhan

Rep: Alkhaledi Kurnialam/ Red: Ani Nursalikah

Rabu 13 Apr 2022 13:19 WIB

Seorang penjual dan pelanggan sama-sama mengenakan sarung tangan di sebuah toko di lingkungan al-Midan menjelang bulan Ramadhan di Damaskus, Suriah (21/4/2020). Krisis Suriah, Tak Ada Makanan Atau Minuman Tradisional Lagi Saat Ramadhan Foto: EPA-EFE/YOUSSEF BADAWI Seorang penjual dan pelanggan sama-sama mengenakan sarung tangan di sebuah toko di lingkungan al-Midan menjelang bulan Ramadhan di Damaskus, Suriah (21/4/2020). Krisis Suriah, Tak Ada Makanan Atau Minuman Tradisional Lagi Saat Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, ALEPPO -- Ramadhan di Suriah pada tahun ini dirasakan sangat jauh berbeda dari bulan suci di tahun-tahun sebelumnya. Konflik hingga melonjaknya harga pangan membuat warga Suriah kesulitan, bahkan hanya untuk membuat makanan atau minuman tradisional Ramadhan mereka, seperti roti maarouk atau jus licorice dan asam.

“Ada kebiasaan konsumen yang hilang dari sebagian besar keluarga di Aleppo selama Ramadhan karena melonjaknya harga makanan,” kata salah seorang warga, Younis dilansir dari Enab Baladi, Selasa (12/4/2022).

Baca Juga

Harga makanan seperti Maarouk melonjak tinggi mulai dari 8.000 pound atau Rp 28 ribu dan harga roti isi mencapai 15 ribu pound atau sekitar Rp 57 ribu. Hingga harga untuk satu liter minuman licorice dan jus tamarind (asam) yang juga melonjak. Pengeluaran seperti itu disebut tidak sesuai dengan kemampuan pembelian Younis karena gajinya hampir tidak cukup untuk makan selama sebulan penuh.

Younis mengaku sedang menunggu kiriman uang dari salah satu kerabat atau temannya di luar Suriah sehingga dia dapat membeli apa pun yang dia inginkan selama Ramadhan.

“Kami tidak dapat membeli Maarouk karena keluarga besar saya membutuhkan setidaknya dua roti, dan ini berarti biaya minuman maarouk dan licorice tanpa asam akan menjadi 12 ribu pound Suriah (Rp 43 ribu) per hari dan 360 ribu pound Suriah (Rp 1,2 juta) per bulan," ujarnya.

"Biaya seperti itu hampir dua kali lipat nilai gaji saya di pelayanan publik. Saya tidak mampu membelinya karena pencarian saya adalah mengamankan kebutuhan dasar untuk sahur,” tambah Younis.