Selasa 12 Apr 2022 22:19 WIB

Presiden BEM Universitas Lampung Gagal Dilantik Rektor

Kebebasan berorganisasi di Unila dinilai sudah mati.

Rep: Mursalin Yasland/ Red: Teguh Firmansyah
Sejumlah mahasiswa di Lampung berunjuk rasa di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lampung, Jumat (18/10/2019).
Foto: Antara/Ardiansyah
Sejumlah mahasiswa di Lampung berunjuk rasa di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lampung, Jumat (18/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Ketika yang lain sibuk dengan demonstrasi mengecam kebijakan pemerintah, gerakan mahasiswa di Universitas Lampung melempem akibat kekosongan di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).    Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Lampung (Unila) Amiza Rezika terpilih yang sedianya dilantik rektor pada Januari 2022, molor hingga empat bulan berjalan.

Gagalnya pelantikan terganjal Peraturan Rektor (Pertor) Nomor 18 tahun 2021 tentang Organisasi Kemahasiswaan.  Efek tidak dilantiknya presiden BEM Unila tersebut menimbulkan reaksi para senior mantan presiden BEM Unila sebelumnya.

Baca Juga

Deretan karangan bunga duka cita terpajang di pinggir Bundaran Tugu Adipura, Kota Bandar Lampung hingga Selasa (12/4). Isi karangan bunga tersebut; Turut Berduka Atas Wafatnya Kebebasan Berorganisasi di Unila.”

Mantan Presiden Mahasiswa BEM Unila Tahun 2018 Muhammad Fauzul Adzim mengatakan, pimpinan Unila sebaiknya tetap menjaga alam demokrasi di dalam kampus. Menurut dia, dalam kampus diberikan kebebasan berserikat dan berorganisasi.

“Harapan kami rektor Unila bisa konsisten menjaga alam demokrasi mahasiswa di kampus,” kata M Fauzul Adzim kepada //Republika.co.id//, Selasa (12/4).

Ia mengatakan, saat menjadi presiden mahasiswa BEM Unila,  pernyataan Rektor Unila Hasriadi Mat Akin pada 4 Oktober 2018 bisa konsisten dilaksanakan, dan ini adalah integritas akademis. Dalam pernyataan rektor Unila saat itu, dijelaskan pada butir 1: akan menghentikan dan meniadakan Rancangan Peraturan Rektor tentang kemahasiswaan dan sejenisnya".

Butir 2 akan menghentikan segala bentuk ancaman kepada mahasiswa yang dilakukan oleh rektor, para wakil rektor, para dekan dan para wakil dekan di lingkungan Unila. Kemudian butir 3 yakni akan meniadakan segala bentuk politisasi kampus Unila dari segala  politik praktis yang mencoreng marwah akademis.

“Biarkan mahasiswa diberikan rumah bebas untuk berserikat dan berorganisasi, ini adalah hak sipil dan politik warga negara,” kata Fauzul Adzim.

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Unila Prof Yulianto memastikan tidak ada organisasi mahasiswa di lingkungan kampus hijau Unila yang mati suri atau dikekang kebebasannya. Menurut dia, permasalahan yang sebenarnya terjadi yaitu BEM tidak mengikuti mekanisme pemilihan yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Rektor Unila Nomor 18 Tahun 2021 tentang Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa).

“Organisasi kemahasiswaan mati suri di Unila itu tidak ada, toh kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang lain tetap jalan dan kenapa BEM tidak jalan? Karena, pada saat akan dilakukan pemilihan BEM 2022, sudah kami informasikan bahwa sudah ada Peraturan Rektor yang mengatur organisasi kemahasiswaan, dan kami meminta agar digunakan mekanisme pemilihan sesuai dengan Pertor (peraturan rektor) tersebut.

“Tapi tidak dilakukan. Oleh karena itu, pelantikan tidak bisa dilaksanakan jika tidak berdasarkan Pertor,” jelas Yulianto dalam siaran persnya, Senin (11/4).

Tim Pengelola Prestasi Mahasiswa (TP2M) Unila Budi Harjo menyatakan

prihatin atas langkah yang diambil para alumni dan pengurus BEM Unila dalam menggelar karangan bungan duka cita tersebut. Menurutnya, ada pemahaman yang tidak pas atau keliru yang ditangkap mengenai Pertor tersebut.

Ia menjelaskan, Pertor Ormawa sejatinya dibuat sebagai upaya universitas mewadahi organisasi mahasiswa agar aktivitasnya jadi lebih tertata, teratur, dan kemudian memberikan ruang untuk mengembangkan kreativitas. Kehadiran Pertor No. 18/2021 juga tidak lepas dari langkah universitas memfasilitasi penyelesaian konflik pemilihan raya (Pemira) mahasiswa tahun 2021 yang sempat berkepanjangan.

"Jadi sebetulnya kepentingannya untuk mewadahi itu, tapi justru mahasiswa tidak mampu. Pertama, tidak mampu menyelesaikan konflik secara internal di tubuh mereka. Kedua, keliru memahami peraturan rektor yang sudah ditetapkan itu. Mereka menganggap peraturan itu membungkam atau membelenggu aktivitas padahal tidak ada sedikitpun aturan yang mengatur untuk membungkam atau membelenggu. Tidak ada sama sekali," ujar Budi, mantan Ketua Senat Mahasiswa Unila tahun 1991-1992 dalam rilisnya, Selasa (12/4).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement