Selasa 12 Apr 2022 12:10 WIB

Pakar Jelaskan Alasan Pemerintah Naikkan PPN dan Turunkan PPh

Indonesia dinilai sebagai negara yang tidak menarik untuk dijadikan lahan investasi

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Muhammad Fakhruddin
Pakar Jelaskan Alasan Pemerintah Naikkan PPN dan Turunkan PPh (ilustrasi).
Foto: flickr
Pakar Jelaskan Alasan Pemerintah Naikkan PPN dan Turunkan PPh (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA -- Pakar perpajakan Universitas Airlangga (Unair), Elia Mustikasari menyatakan, naiknya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen  memang memberatkan masyarakat.

Kenaikan tarif, kata dia, selain bertujuan mendudukkan kembali fungsi PPN sebagai pajak atas transaksi barang dan jasa yang sifatnya umum, juga dimaksudkan sebagai penyeimbang penurunan tarif PPh badan dari 25 persen ke 22 persen, dan pada 2022 menjadi 20 persen.

Baca Juga

Elia melanjutkan, PPN dinilai menjadi sumber pemasukan negara yang lebih pasti daripada PPh karena pengendaliannya lebih mudah. “Pajak penghasilan lebih sulit dikejar karena banyak wajib pajak yang melakukan penghindaran pajak (tax avoidance)” kata Elia, Selasa (12/4/2022).

Wakil Ketua Ikatan Akuntan Indonesia itu menjelaskan, sebenarnya pembahasan mengenai penataan kembali peraturan perundang-undangan pajak di Indonesia termasuk kenaikan PPN, sudah berlangsung sejak lama. Kebijakan itu merupakan lanjutan dari omnibus law yang bertujuan untuk mengatasi kelesuan ekosistem investasi di Indonesia.

Elia menyatakan, Indonesia memang dinilai sebagai negara yang tidak menarik untuk dijadikan lahan investasi oleh negara lain. Ada beberapa hal yang menyebabkan investor luar negeri memandang sebelah mata intestasi di Indonesia. Di antaranya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, tidak sinkron, memberatkan, yang kemudian ditambah isu korupsi.

"Membuat mereka (investor) tidak nyaman di Indonesia. Karena pertimbangan itulah dilahirkan omnibus law,” ujar Elia.

Elia pun menjelaskan apa saja yang bakal terdampak kenaikan PPN menjadi 11 persen itu. Kenaikkan PPN, lanjut Elia, mengecualikan bidang kesehatan, pendidikan, bahan makanan pokok, dan pelayanan publik. Artinya, kata dia, yang diharapakan terkena dampak kenaikkan PPN adalah masyarakat mampu.

Meskipun menurutnya, kenaikan itu tidak memberatkan pengusaha. “Itu semua yang menanggung end-user customer atau konsumen akhir. Karena kalau di ranah pengusaha pajak masukannya bisa dikreditkan  ke pajak keluarannya,” kata dia.

Di lain sisi, lanjut Elia, tidak pas untuk mengaitkan kenaikan PPN ini dengan dikotomi masyarakat kelas atasatas, menengah, dan bawah. Hal ini disebabkan bentuk PPN itu sendiri yang merupakan pajak objektif yang tidak memperhatikan daya pikul wajib pajak. 

“Sehingga kalau kita bicara keadilan nggak pas. Pasnya di ranah pajak subjektif, yaitu PPh. Namun demikian pemerintah tetap mengecualikan PPN ini terhadap kesehatan, pendidikan, bahan makanan pokok, dan jasa pelayanan publik," kata dia.

Menurutnya, yang menjadi perhatian masyarakat kadalah waktu pengimplementasian kebijakan yang tidak tepat. Karena bertepatan dengan Ramadan, naik dan langkanya BBM, serta naiknya harga barang-barang substitusi energi dan komoditas lainnya seperti batubara.

Elia berpendapat, sebenarnya pemerintah bisa mengundur pelaksanaan kebijakan itu. Akan tetapi, kata dia, hal itu akan berdampak pada penurunan kredibilitas pemerintah. Jika ditunda, kebijakan itu akan sulit diterapkan, mengingat tahun 2024 adalah tahun pergantian presiden.

Elia juga menjelaskan, PPN Indonesia masih tergolong moderat. Ia juga berpendapat, saat ini peraturan perpajakan yang ada di Indonesia sudah mempertimbangkan kondisi dalam maupun luar negeri. “Negara-negara Asia itu  rata-rata tarif  PPN-nya 12 persen dan negara-negara anggota OECD  rata-rata 15,4 persen,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement