Selasa 12 Apr 2022 01:05 WIB

Pengamat: Unjuk Rasa Mahasiswa Selamatkan Demokrasi yang Retak

Mereka sangat sadar dan terpanggil untuk selamatkan demokrasi dan amanat reformasi.

Sejumlah massa aksi dari Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) melaksanakan demonstrasi di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (11/4/2022). Pada aksi tersebut BEM SI menuntut agar DPR mendengar dan menjemput aspirasi rakyat, mendesak anggota parlemen secara tegas menolak penundaan pemiulu 2024 atau jabatan presiden tiga periode, serta mendesak wakil rakyat agar menyampaikan kajian disertasi 18 tuntutan mahasiswa kepada presiden Joko Widodo. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah massa aksi dari Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) melaksanakan demonstrasi di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (11/4/2022). Pada aksi tersebut BEM SI menuntut agar DPR mendengar dan menjemput aspirasi rakyat, mendesak anggota parlemen secara tegas menolak penundaan pemiulu 2024 atau jabatan presiden tiga periode, serta mendesak wakil rakyat agar menyampaikan kajian disertasi 18 tuntutan mahasiswa kepada presiden Joko Widodo. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JEMBER -- Pengamat politik Universitas Jember (Unej), Muhammad Iqbal, mengatakan, unjuk rasa besar-besaran mahasiswa di Jakarta dan berbagai daerah menunjukkan sikap kaum milenial untuk menyelamatkan demokrasi yang retak di Indonesia. "Unjuk rasa pada 11 April 2022 sangat menarik dan signifikan dipahami sebagai upaya generasi kekinian selamatkan demokrasi," katanya di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Senin (11/4).

Menurut dia, bukan lagi soal jumlah peserta aksi karena hal itu tidak penting lagi mau besar atau kecil, tetapi hal itu menjadi momentum fundamental bagi uji terkonsolidasi-nya gerakan mahasiswa milenial. "Mereka kini sangat sadar dan terpanggil untuk selamatkan demokrasi dan amanat reformasi dari cengkeraman jerat kuasa oligarki politik, oligarki ekonomi dan oligarki media sekaligus," kata dosen FISIP Unej itu.

Baca Juga

Ia menilai, kelompok mahasiswa kini sangat menyadari potensi besarnya agar tidak mau lagi dijadikan korban komoditas politik dan ekonomi, serta mereka pun tidak mau jadi obyek politik transaksional "dagang sapi" hanya untuk kepentingan kuasa pemilu saja. "Gerakan aksi hari ini hendak memastikan jangan sampai demokrasi Indonesia mati oleh oligarki yang berkedok 'taat konstitusi'," ucap pakar komunikasi Unej itu.

Iqbal mengatakan, gerakan mahasiswa kemungkinan juga terinspirasi dari dialektika buku How Democracies karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt karena situasi politik kekuasaan Indonesia saat ini mirip dengan kriteria yang ada dalam buku itu. "Misalnya, bagaimana terjadinya fatefull alliances ketika rezim kekuasaan bersekutu dengan para politikus mapan secara politik dan ekonomi serta beraliansi dengan konglomerasi media," ujarnya.

Bahkan, kata dia, dramaturgi memainkan narasi konstitusi dan lembaga demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan dengan cara mengkhianati reformasi dan membunuh demokrasi lewat wacana penundaan pemilu dan perpanjangan tiga periode masa jabatan presiden.

"Pada momentum itulah, gerakan mahasiswa post-milenial 11 April 2022 sangat kuat nilai konsolidasinya bagi upaya penyelamatan demokrasi dan 18 tuntutan gerakan mahasiswa yang belum tuntas terjawab oleh Presiden Joko Widodo hingga saat ini adalah spirit perjuangan demonstrasi," ujarnya.

Ia menjelaskan, unjuk rasa pada 11 April 2022 bukanlah akhir. Namun, justru awal bangkitnya konsolidasi untuk menyelamatkan demokrasi dan panjang umur gerakan mahasiswa.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement