Jumat 08 Apr 2022 05:50 WIB

Pemerintah Perlu Lebih Serius Pikirkan Diversifikasi Energi

Ketersediaan area pengisian baterai kendaraan listrik masih terbatas.

Rep: Ronggo Astungkoro / Red: Satria K Yudha
Petugas mengisi daya mobil listrik di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) Ultra Fast Charging, Central Parking Nusa Dua, Badung, Bali, Jumat (25/3/2022). SPKLU Ultra Fast Charging 200 kW pertama di Indonesia yang disiapkan untuk penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 itu mampu mengisi penuh baterai kendaraan listrik berkapasitas >80kWh hanya dalam waktu 30 menit.
Foto: ANTARA/Fikri Yusuf
Petugas mengisi daya mobil listrik di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) Ultra Fast Charging, Central Parking Nusa Dua, Badung, Bali, Jumat (25/3/2022). SPKLU Ultra Fast Charging 200 kW pertama di Indonesia yang disiapkan untuk penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 itu mampu mengisi penuh baterai kendaraan listrik berkapasitas >80kWh hanya dalam waktu 30 menit.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah kondisi yang tidak menentu akibat imbas perang antara Rusia dengan Ukraina, pemerintah dinilai mulai harus berpikir tentang diversifikasi energi. Selain itu, isu pengurangan gas rumah kaca juga harus mulai dibahas secara serius.

"Kalau tidak, maka dalam waktu dekat sektor transportasi akan jadi penyumbang terbesar gas rumah kaca," kata Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan, dalam diskusi yang digelar Jakarta Journalist Center (JJC) dengan tema "Krisis Rusia-Ukraina, Mahalnya Minyak Dunia", Kamis (7/4/22).

Dia memberikan contoh penggunaan kendaraan listrik, baik itu sepeda motor maupun mobil. Akan tetapi, hal itu dia sebut masih terkendala beberapa hal, di antaranya harga yang masih cukup tinggi dan ketersediaan area pengisian baterai yang masih terbatas.

"Perlu kebijakan fiskal agar kendaraan listrik lebih murah. Infrastruktur charging yang masih lama juga harus diperhatikan. Jika satu kendaraan butuh satu jam untuk mengisi daya, maka ada jeda waktu yang cukup panjang," terang dia.

Dalam kesempatan itu, ia turut menyinggung soal kenaikan harga Pertamax yang merupakan salah satu imbas dari melonjaknya harga minyak dunia. Ia bersyukur karena disparitas harga antara Pertamax dengan Pertalite tidak terlalu signifikan setelah adanya kenaikan. 

Menurut dia, hal ini bisa membuat migrasi konsumen tak terlalu tinggi. Diperkirakan, kemungkinan migrasi pengguna Pertamax ke Pertalite maksimal hanya 25 persen. "Saya rasa kemungkinan migrasi pengguna Pertamax ke Pertalite maksimal hanya 25 persen kira-kira," ungkap Mamit.

Sebagaimana diketahui, Pertamina telah menaikkan harga BBM jenis Pertamax dari Rp 9.000 menjadi Rp 12.500 per liter. Harga tersebut dia nilai masih lebih rendah dari harga keekonomian Pertamax saat ini yang mencapai sekitar Rp 16 ribu per liter. 

"Saya apresiasi Pertamina yang tidak menaikkan harga ke titik psikologis konsumen Pertamax. Jika iya, nantinya justru yang ada migrasi besar-besaran dari Pertamax ke Pertalite," kata dia.

Dengan disparitas harga yang tidak terlalu signifikan itu, dia berharap tidak ada overkuota terhadap jenis bahan bakar khusus penugasan (JBKP) tersebut. "Apalagi untuk pengendara yang sudah merasakan perbedaan Pertalite dan Pertamax. Harga yang diputuskan Pertamina masih sangat masuk akal," kata dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement