Jumat 08 Apr 2022 00:54 WIB

Pengamat: KPK Butuh Dukungan Masyarakat

Pengamat mengatakan KPK butuh dukungan masyarakat untuk berantas korupsi.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Bayu Hermawan
Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (ilustrasi)
Foto: Republika/Dian Fath Risalah
Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik Unsri, Husni Tamrin menilai bahwa publik seharusnya tidak perlu lagi memperdebatkan tes wawasan kebangsaan (TWK) para pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya, masyarakat lebih baik membantu KPK fokus dalam memerangi korupsi di Indonesia.

"KPK butuh dukungan masyarakat untuk bekerja memberantas korupsi di Indonesia," kata Husni Tamrin dalam keterangan, Kamis (7/4). Hal tersebut diungkapkan terkait laporan Ombudsman ke presiden dan DPR terkait TWK pegawai KPK.

Baca Juga

Dia mengatakan, sengketa terkait TWK telah melibatkan Makamah Agung (MA) dan Makamah Konsitusi (MK). Dia melanjutkan, kedua lembaga peradilan itu juga telah menyatakan bahwa pelaksanaan tes yang menjadi syarat peralihan status pegawai KPK itu sah secara hukum.

Menurutnya, KPK hanya melaksanakan keputusan MK serta putusan MA yang menjadi pedoman. Dia melanjutkan, sebagai negara hukum maka putusan hukum MK dan MA yang dilaksanakan mengingat tidak ada putusan lebih tinggi dari putusan kedua lembaga tersebut.

"Indonesia adalah negara hukum. Kita telah melaksanakan sesuai peraturan perundang undangan. Jadi kenapa harus di hebohkan lagi, biarkanlah KPK bekerja," katanya.

 

Sebelumnya, laporan kepada presiden dan DPR dilakukan lantaran rekomendasi Ombudsman terkait TWK tidak dilakukan oleh KPK. Dalam laporannya, Ombudsman meminta Presiden Joko Widodo memberi sanksi kepada para pimpinan KPK serta Kepala BKN, Bima Haria Wibisana.

Padahal, Ombudsman telah menemukan sejumlah maladministrasi dalam proses pelaksanaan TWK. Begitu juga dengan pelanggaran HAM yang telah ditemukan Komnas Ham terkait proses pengalihan status kepegawaian dimaksud.

Surat kepada Presiden Joko Widodo dan DPR itu dibuat pada pada 29 Maret 2022. Surat tersebut dibubuhi tanda tangan Ketua Ombudsman RI, Mokhammad Najih.

Dalam suratnya, Ombudsman juga menjelaskan bahwa sebagai penyelenggara negara sudah seharusnya, baik pimpinan KPK maupun Kepala BKN mematuhi hukum. Namun, karena keduanya mengabaikan rekomendasi ombudsman yang mengacu pada Pasal 39 UU Nomor 37 Tahun 2008, serta merujuk pada Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 54 ayat (5), dan ayat (7) beserta penjelasannya dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, maka keduanya harus diberi sanksi. Adapun, sanksi maksimal yang bisa dijatuhkan adalah pembebasan jabatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement