Rabu 06 Apr 2022 16:25 WIB

Pajak Kripto, Kemenkeu: Potensi Penerimaan Negara Capai Rp 1 Triliun

Potensi ini berdasarkan transaksi aset kripto pada 2020 yang mencapai Rp 850 triliun.

Rep: Novita Intan/ Red: Fuji Pratiwi
Aset kripto (ilustrasi). Pemerintah memprediksi potensi penerimaan negara dari pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas transaksi aset kripto mencapai Rp 1 triliun.
Foto: ANTARA/Ari Bowo Sucipto
Aset kripto (ilustrasi). Pemerintah memprediksi potensi penerimaan negara dari pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas transaksi aset kripto mencapai Rp 1 triliun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pemerintah memprediksi potensi penerimaan negara dari pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas transaksi aset kripto mencapai Rp 1 triliun. Adapun potensi ini didasarkan total transaksi aset kripto pada 2020 yang mencapai Rp 850 triliun.

Kasubdit Peraturan PPN, Perdagangan, Jasa dan PTLL Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bonarsius Sipayung mengatakan pengenaan PPN atas transaksi aset kripto tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022, yang berlaku mulai 1 Mei 2022.

Baca Juga

"Potensinya berdasarkan data yang kita peroleh 2020 total transaksi kripto di Indonesia ini Rp 850 triliun. Berarti dikali 0,2 ya sekitar hampir Rp 1 triliun sekian," ujar Bonar saat konferensi pers virtual, Rabu (6/4/2022).

Menurutnya pengenaan pajak tidak hanya dilakukan kepada pihak yang memfasilitasi perdagangan aset kripto, baik di dalam maupun luar negeri. Hal ini dilakukan agar menimbulkan asas keadilan kepada setiap pelaku usaha yang bermain di dalamnya.

"Kalau kita bicara pihak-pihak lain ini luas. Pihak lain ini mencakup marketplace dalam negeri bisa juga marketplace luar negeri. Cuma tentunya untuk luar negeri kita sudah punya benchmark. Jadi memang kita akan jaga equal treatment," ucap Bonar.

PPN dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud berupa Aset Kripto oleh Penjual Aset Kripto; Jasa Kena Pajak berupa jasa penyediaan Sarana Elektronik yang digunakan transaksi perdagangan Aset Kripto, oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

"Dan/atau Jasa Kena Pajak berupa jasa verifikasi transaksi Aset Kripto dan/atau jasa manajemen kelompok Penambang Aset Kripto (mining pool) oleh Penambang Aset Kripto," tulis Pasal 2 bagian c.

Adapun penyerahan aset kripto tersebut meliputi jual beli aset kripto dengan mata uang fiat, tukar-menukar aset kripto dengan aset kripto lainnya (swap); dan/ atau tukar-menukar aset kripto dengan barang selain aset kripto dan/atau jasa.

Atas penyerahan aset kripto, besaran PPN yang dipungut dan disetor sebesar satu persen dari tarif PPN umum atau sebesar 0,11 persen. Bila perdagangan tidak dilakukan pedagang fisik aset kripto, maka besaran PPN yang dipungut dan disetor sebesar dua persen dari tarif PPN umum atau sebesar 0,22 persen.

Sementara itu, atas penyerahan jasa verifikasi transaksi aset kripto dan mining pool, PPN yang harus dipungut dan disetor sebesar 10 persen dari tarif PPN umum atau 1,1 persen yang dikali dengan nilai berupa uang atas aset kripto yang diterima penambang.

Sementara pajak penghasilan, pada Pasal 19 disebutkan, penghasilan yang diterima oleh penjual aset kripto, penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik, dan penambang merupakan penghasilan yang terutang pajak penghasilan (PPh).

Bagi Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) atas penyelenggaraan perdagangan kripto dikenai PPh dengan tarif umum, atas transaksi aset kripto dikenai PPh 22 final 0,1 persen dari nilai transaksi. PPh Pasal 22 bersifat final tersebut dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh penyelenggara perdagangan.

Jika penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik bukan pedagang fisik aset kripto, PPh Pasal 22 bersifat final yang dipungut sebesar 0,2 persen. Bagi penambang, Pasal 30 ayat (1) mengatur adanya pengenaan PPh Pasal 22 bersifat final dengan tarif 0,1 persen. Bagi penambang, PPh Pasal 22 harus disetorkan sendiri. 

"Makanya ketika kita mengatur pun tarifnya kecil sekali. Ini saya kira fair kalau tadi dibilang di luar negeri juga lazim, jadi normal-normal saja," kata Bonar.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement