Mengapa Waktu Puasa Dibatasi Hanya dari Terbit Fajar hingga Matahari Terbenam?

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah

Selasa 05 Apr 2022 15:28 WIB

Ilustrasi Berpuasa. Terdapat hikmah pembatasan waktu puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari Foto: Pixabay Ilustrasi Berpuasa. Terdapat hikmah pembatasan waktu puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dalam puasa yang panjang setelah tubuh menghabiskan simpanan glikogen dan lemak, maka pada saat itu tubuh akan melakukan oksidasi zat-zat protein dan mengubahnya menjadi gula untuk menjamin ketersediaan energi yang dibutuhkan tubuh. Lantas apa saja manfaat medis di balik durasi waktu puasa?

Jamal Muhammad Az-Zaki dalam buku Sehat dengan Ibadah mengatakan, ketika tubuh melakukan oksidasi, maka gula akan diurai untuk jaringan protein yang membentuk daging organik dan penyakit yang disebabkannya pada saat menempel pada anggota-anggota tubuh yang penting.

Baca Juga

Para ilmuwan menyarankan operasi pencarian simpanan lemak kemudian pencairan protein pada tubuh melalui autolisis dan dalam hal ini tubuh memanfaatkan banyak khamir. 

Larangan ketat akan menyebabkan munculnya berbagai gangguan nutrisi saraf dalam otak tengah yang di antaranya akan berpengaruh buruk terhadap kelenjar endokrin, perilaku, dan emosi.

Dari sinilah dapat terlihat betapa pentingnya pengaturan durasi puasa sedemikian rupa. Mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari tanpa melarang mengkonsumsi makanan tertentu untuk mengembalikan keseimbangan dan tidak berlebih-lebihan ketika tiba waktu berbuka.

Sebuah penelitian pada 1964 menyebutkan bahwa sejumlah komplikasi serius terjadi akibat terus-menerus berpuasa lebih dari 31-40 hari. 

Dengan begitu, tampak jelas di sini hikmah di balik kemukjizatan Nabi Muhammad SAW dalam larangan berpuasa wishal. Rasululllah bersabda: 

لاَ تُوَاصِلُوا، فَأَيُّكُمْ أَرَادَ أَنْ يُوَاصِلَ فَلْيُوَاصِلْ حَتَّى السَّحَرِ ‏"‏‏.‏ قَالُوا فَإِنَّكَ تُوَاصِلُ، يَا رَسُولَ اللَّهِ‏.‏ قَالَ ‏"‏ لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ، إِنِّي أَبِيتُ لِي مُطْعِمٌ يُطْعِمُنِي وَسَاقٍ يَسْقِينِ

“Laa tuwaashilu fa-ayyukum idza araada an yuwaashila fal-yuwashil hatta as-sahari qaaluu fa-innaka tuwashilu ya Rasulullahi qaala inniy lastu kahay-atikum inni abitu-liy muth’imun yuthimuni wa saaqin yasqinin.” 

Yang artinya, “Janganlah kaliam menyambung puasa kalian (tanpa berbuka). Barang siapa yang ingin menyambung puasa, maka hendaklah ia melakukannya sampai sahur,”. Para sahabat kemudian bertanya, ‘Engkau sendiri menyambung puasa, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘aku tidak seperti keadaan kalian. Sesungguhnya di malam hari aku diberi makan dan minum oleh Tuhanku.”