Selasa 05 Apr 2022 05:09 WIB

ICJR: Vonis Mati Bukan Solusi Bagi Korban Kekerasan Seksual

Tidak ada bukti ilmiah yang menyebut vonis mati membawa efek jera.

Terdakwa kasus pemerkosaan terhadap 13 santri Herry Wirawan.
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Terdakwa kasus pemerkosaan terhadap 13 santri Herry Wirawan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menegaskan hukuman mati terhadap Herry Wirawan (HW) selaku pelaku perkosaan terhadap 13 santri bukanlah merupakan solusi bagi korban kekerasan seksual. Maidina mengatakan hukuman mati terhadap pelaku kekerasan seksual justru akan menggeser fokus negara kepada hal yang tidak lebih penting dari korban.

"Meskipun pelaku perkosaan dan kekerasan seksual lain harus dimintai tanggung jawab, hukuman mati dan penyiksaan bukanlah solusinya," kata Maidina ketika mengutip ucapan UN High Commissioner for Human Rights Michelle Bachelet, dalam keterangannya, Senin (4/4/2022).

Baca Juga

Ia mengutarakan, tidak ada satu pun bukti ilmiah yang menyebutkan bahwa pidana mati dapat menyebabkan efek jera, termasuk di dalam kasus perkosaan. Lebih lanjut, di dalam putusan ini, hakim menyatakan bahwa restitusi dijatuhkan sebagai upaya memberikan efek jera kepada pelaku.

Padahal, restitusi seharusnya diposisikan di dalam diskursus hak korban, bukan penghukuman terhadap pelaku. "Jika mengikuti logika berpikir ini, hakim akan menghadapi pembatasan di dalam Pasal 67 KUHP, yang melarang penjatuhan pidana tambahan lain kepada terdakwa yang dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup," kata Maidina.

Hal ini yang di dalam putusan lalu menjadi masalah bagi hakim di tingkat pertama bahwa ketika hukuman yang maksimal sudah diberikan kepada pelaku, hukuman lain tidak dapat dijatuhkan. Untuk mengatasi kekacauan ini, seharusnya hukuman mati tidak boleh dijatuhkan di dalam kasus apa pun, khususnya kekerasan seksual, dalam hal ini korban membutuhkan restitusi untuk mendukung pemulihannya.

"ICJR memahami bahwa kasus ini menyulut kemarahan yang besar bagi publik. Meski demikian, kemarahan publik bukanlah hal yang seharusnya menjadi fokus utama pada pemberian keadilan bagi korban," ucapnya.

Fokus utama aparat penegak hukum seharusnya terhadap korban, dan bukan kepada pelaku. Pengadilan yang saat ini sudah memiliki pedoman mengadili perkara perempuan harus mulai berpikir progresif dengan memikirkan kebutuhan korban.

"Tidak hanya terjebak pada kemarahan pribadi yang tidak akan menolong korban sama sekali," kata Maidina.

Pernyataan tersebut dia sampaikan sebagai tanggapan atas putusan Pengadilan Tinggi (PT) Bandung yang menerima banding oleh jaksa dalam kasus Herry Wirawan, dan menjatuhkan pidana mati sebagaimana yang dituntut oleh jaksa penuntut umum di tingkat pertama. PT Bandung juga mengubah tanggung jawab kewajiban pembayaran restitusi terhadap korban kepada pelaku setelah Pengadilan Negeri (PN) Bandung memberikan kewajiban tersebut kepada Pemerintah.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement