Senin 04 Apr 2022 14:59 WIB

Presiden Sri Lanka Serukan Persatuan Tangani Krisis Ekonomi

Krisis Sri Lanka menyebabkan pemadaman listrik selama berjam-jam.

Rep: Dwina agustin/ Red: Friska Yolandha
Warga Sri Lanka mengantre untuk membeli minyak tanah di sebuah pompa bahan bakar di Kolombo, Sri Lanka, Jumat, 25 Maret 2022.
Foto: AP/Eranga Jayawardena
Warga Sri Lanka mengantre untuk membeli minyak tanah di sebuah pompa bahan bakar di Kolombo, Sri Lanka, Jumat, 25 Maret 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa menyerukan elemen pemerintah untuk bersatu menangani krisis ekonomi negara itu, Senin (4/4/2022). Ajakan ini setelah mayoritas menteri kabinet dan gubernur bank sentral mengajukan untuk mengundurkan diri.

"Mengingat ini kebutuhan nasional, sudah waktunya untuk bekerja bersama demi semua warga negara dan generasi mendatang," kata kantor media Rajapaksa dalam sebuah pernyataan.

Baca Juga

Negara yang dibebani utang ini sedang berjuang untuk membayar impor bahan bakar dan barang-barang lainnya karena krisis valuta asing. Kondisi ini menyebabkan pemadaman listrik selama berjam-jam dan kekurangan kebutuhan pokok.

"Presiden mengajak seluruh partai politik yang mewakili di parlemen untuk bersama-sama menerima portofolio menteri guna mencari solusi atas krisis nasional ini," ujar kantor media Rajapaksa.

Perkembangan krisis yang terjadi setelah Rajapaksa, yang kakak laki-lakinya adalah perdana menteri dan adik lelaki menteri keuangan, mengumumkan keadaan darurat pada 1 April.   Protes jalanan pun muncul dan berlanjut selama akhir pekan meskipun jam malam diberlakukan.

Negara kepulauan berpenduduk 22 juta jiwa itu bergulat dengan inflasi yang melonjak setelah pemerintah secara tajam mendevaluasi mata uangnya bulan lalu. Sri Lanka mencoba melakukan pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk program pinjaman.

Pengeluaran negara juga telah melebihi pendapatannya selama beberapa pemerintahan terakhir. Sementara produksi barang dan jasa yang dapat diperdagangkan tidak memadai. Defisit kembar itu menjadi lebih parah akibat pandemi Covid-19 yang melumpuhkan pendapatan andalan, yaitu industri pariwisata.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement