Ahad 03 Apr 2022 22:55 WIB

Umat Islam di Timur Tengah Hadapi Meroketnya Harga Pangan di Bulan Ramadhan

Banyak yang berharap Ramadhan kali ini akan membawa suasana lebih ceria.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Agung Sasongko
Ramadhan di Timur Tengah
Foto: AP Photo
Ramadhan di Timur Tengah

IHRAM.CO.ID, KAIRO — Banyak yang berharap Ramadhan kali ini akan membawa suasana lebih ceria setelah pandemi Covid-19 menghalangi dua miliar Muslim dunia dari banyak ibadah selama dua tahun terakhir. Namun, harapan itu sepertinya pupus. Sebab, konflik Rusia-Ukraina yang masih terjadi hingga sekarang menyebabkan meroketnya harga pangan di Timur Tengah.

Harga yang meroket memengaruhi mereka yang hidup di tengah kemiskinan, mulai dari Libanon hingga Yaman. Ukraina dan Rusia menyumbang sepertiga dari ekspor gandum dan jelai global yang diandalkan negara-negara Timur Tengah untuk memberi makan jutaan orang yang hidup dari roti bersubsidi dan mi murah. Mereka juga pengekspor utama biji-bijian lain dan minyak biji bunga matahari yang digunakan untuk memasak.

Baca Juga

Importir gandum terbesar di dunia, Mesir, telah menerima sebagian besar gandumnya dari Rusia dan Ukraina dalam beberapa tahun terakhir. Tapi sekarang mata uangnya turun sehingga membuat harga naik.

Pembeli di ibu kota, Kairo, pada awal pekan ini menimbun bahan makanan dan dekorasi pesta, tetapi banyak yang harus membeli lebih sedikit dari tahun lalu karena harga. Harga yang lebih tinggi juga memperburuk kesengsaraan Lebanon yang sudah menghadapi krisis ekonomi besar. Selama dua tahun terakhir, mata uang jatuh dan membuat masyarakat kelas menengah jatuh ke dalam kemiskinan. Kehancuran juga menyebabkan kelangkaan listrik, bahan bakar, dan obat-obatan.

Sementara itu, di Jalur Gaza, hanya sedikit orang yang berbelanja pada Jumat di pasar yang biasanya ramai. Para pedagang mengatakan perang Rusia di Ukraina telah membuat harga meroket dan meredamkan suasana meriah yang biasanya diciptakan saat Ramadhan.

Kondisi kehidupan 2,3 juta warga Palestina di wilayah pesisir yang miskin itu sulit dan diperparah oleh blokade Israel-Mesir yang melumpuhkan sejak 2007. Menjelang akhir Ramadhan tahun lalu, perang 11 hari yang mematikan antara penguasa Hamas di Gaza dan Israel menyelimuti perayaan, termasuk hari raya Idul Fitri.

Di Irak, masyarakat frustasi dengan meluasnya kenaikan harga pangan pada awal Ramadhan yang diperburuk karena konflik Rusia-Ukraina. Pensiunan guru dan aktivis hak perempuan Suhaila Assam (62 tahun) mengatakan dia bersama suaminya berjuang untuk bertahan hidup dengan uang pensiun gabungan mereka sebesar 1.000 dolar AS atau sekitar Rp 14 juta per bulan.

Dia menyebut harga minyak goreng, tepung, dan kebutuhan pokok lainnya naik lebih dari dua kali lipat. “Kami sebagai orang Irak, banyak menggunakan minyak goreng dan tepung. Hampir setiap kali makan. Jadi bagaimana sebuah keluarga yang terdiri dari lima orang dapat bertahan hidup?” kata Assam.

Distributor tepung di pasar grosir Jamila yang memasok semua distrik Rasafa Baghdad Akeel Sabah (38 tahun) mengatakan tepung dan hampir semua bahan makanan lain yang diimpor membuat distributor harus membayarnya dengan mata uang dolar. Satu ton tepung dulu berharga 390 dolar AS atau sekitar Rp 5 juta. Sekarang, ia membeli satu ton tepung seharga 625 dolar AS atau kurang lebih Rp 9 juta.

“Devaluasi mata uang setahun yang lalu sudah menyebabkan kenaikan harga, tetapi dengan konflik Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung, harga meroket,” ucapnya. n meiliza laveda/AP

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement