Jumat 01 Apr 2022 15:28 WIB

Survei SMRC: Mayoritas Tolak Perubahan Ketentuan Masa Jabatan Presiden

Ide menambah periode jabatan presiden bukan aspirasi yang umum di masyarakat.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andri Saubani
Direktur Riset SMRC Deni Irvani.
Foto: Dok. Tan
Direktur Riset SMRC Deni Irvani.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyatakan, 73 persen responden menilai ketentuan masa jabatan presiden maksimal dua kali harus dipertahankan. Hanya 15 persen yang menilai ketentuan tersebut harus diubah.

"Ide menambah periode jabatan presiden bukanlah aspirasi yang umum di masyarakat," ujar Direktur Riset SMRC Deni Irvani dalam rilis hasil survei bertajuk Sikap Publik terhadap Penundaan Pemilu yang disiarkan kanal YouTube SMRC TV pada Jumat (1/4/2022).

Baca Juga

Dalam survei tersebut, SMRC memberikan informasi kepada responden bahwa Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berlaku sampai sekarang menentukan masa jabatan presiden maksimal hanya dua kali, masing-masing selama lima tahun. Pertanyaannya, apakah ketentuan itu harus diubah atau harus dipertahankan.

Dia menjelaskan, dari 15 persen responden yang menilai ketentuan masa jabatan presiden harus diubah, mayoritasnya (60 persen atau sekitar 9 persen dari total populasi) ingin masa jabatan presiden hanya satu kali. Responden yang ingin masa jabatan presiden lebih dari dua kali (masing-masing lima tahun) hanya 35 persen (sekitar 5 persen dari total populasi).

Menurut Deni, pendapat warga yang mayoritas ingin mempertahankan ketentuan masa jabatan presiden maksimal dua kali ini konsisten dalam tiga kali survei (Mei 2021, September 2021, dan Maret 2022).

"Hanya sekitar 5 persen warga yang setuju dengan pandangan itu. Publik pada umumnya ingin seorang presiden hanya menjabat maksimal dua periode saja," kata dia.

Selain itu, mayoritas atau 78,9 persen responden menilai pemilu mendatang harus tetap dilaksanakan pada 2024 walaupun pandemi Covid-19 belum tentu akan berakhir dalam waktu dekat. Sedangkan, responden yang ingin pemilu ditunda hingga 2027 karena pandemi hanya 13,2 persen.

Sementara itu, pendapat warga yang mayoritas menginginkan pemilu mendatang tetap diadakan pada 2024 ini konsisten dalam dua kali survei (September 2021 dan Maret 2022). Pada umumnya, 79,8 persen warga menilai pemilu tetap dilaksanakan pada 2024 walaupun keadaan ekonomi akibat pandemi Covid-19 belum pulih.

"Yang ingin pemilu ditunda menjadi tahun 2027 karena kondisi ekonomi yang buruk akibat Covid-19 hanya 11,4 persen. Yang tidak punya sikap sekitar 8,8 persen," tutur Deni.

Survei ini dilakukan pada 1.220 responden yang dipilih secara acak dengan metode stratified multistage random sampling terhadap keseluruhan populasi atau warga negara Indonesia yang sudah memiliki hak pilih, yakni mereka yang berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah. Response rate atau responden yang dapat diwawancarai secara valid sebesar 1.027 atau 84 persen.

Sebanyak 1.027 responden ini yang dianalisis. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 3,12 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Wawancara tatap muka dilakukan pada 13-20 Maret 2022.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement