Kamis 31 Mar 2022 08:50 WIB

Terinfeksi Varian Covid-19 Berbeda Berikan Gejala Long Covid yang Berbeda Pula

Infeksi Covid-19 saat ini memberikan keberagaman gejala 'long covid'.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Nora Azizah
Infeksi Covid-19 saat ini memberikan keberagaman gejala 'long covid'.
Foto: www.freepik.com.
Infeksi Covid-19 saat ini memberikan keberagaman gejala 'long covid'.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Varian SARS-CoV-2 yang berbeda bisa memunculkan gejala long Covid yang berbeda pula. Pengaruh varian SARS-CoV-2 pada keberagaman gejala long Covid ini diketahui melalui sebuah studi yang akan dipresentasikan pada European Congress of Clinical Microbiology & Infectious Diseases (ECCMID 2022).

Studi yang dilakukan oleh tim peneliti dari University of Florence dan Careggi University Hospital di Italia ini melibatkan 428 pasien Covid-19. Selama studi berlangsung, tim peneliti melakukan observasi retrospektif pada para pasien selama Juni 2020 hingga Juni 2021. Pada periode tersebut, kasus Covid-19 didominasi oleh varian original SARS-CoV-2 dan varian Alpha.

Baca Juga

Hasil studi menemukan adanya perubahan pola gejala emosional atau kognitif pada pasien yang terkena Covid-19 di periode Maret-Desember 2020 dengan pasien yang terkena Covid-19 di periode Januari-April 2021. Varian original SARS-CoV-2 diketahui mendominasi pada periode Maret-Desember 2020, sedangkan varian Alpha mendominasi pada Januari-April 2021.

Bila dibandingkan dengan periode Maret-Desember 2020, prevalensi gejala long Covid seperti nyeri otot, insomnia, brain fog, dan depresi atau kecemasan cenderung lebih tinggi pada periode Januari-April 2021, di mana varian Alpha mendominasi. Akan tetapi, gejala long Covid seperti kehilangan indra penciuman, dysgeusia atau distorsi indra perasa, dan gangguan pendengaran menjadi lebih jarang pada periode Januari-April 2021.

Temuan ini mengindikasikan bahwa infeksi varian Alpha tampak memunculkan gejala emosional dan neurologis yang berbeda pada kasus long Covid dibandingkan infeksi varian original SARS-CoV-2.

"Banyak gejala yang dilaporkan dalam studi ini telah diukur, tetapi ini pertama kalinya (gejala) dihubungkan dengan varian Covid-19 berbeda," jelas ketua tim peneliti Dr Michele Spinicci, seperti dilasnir FOX News, Kamis (31/3/2022).

Secara umum, tim peneliti juga menemukan bahwa sekitar 76 persen pasien yang terlibat dalam studi mengalami setidaknya satu gejala yang menetap atau long Covid. Beberapa gejala yang paling umum dialami oleh pasien adalah sesak napas (37 persen) dan kelelahan kronis (36 persen). Beberapa gejala lain yang dikeluhkan adalah masalah tidur (16 persen), brain fog atau kesulitan berkonsentrasi (13 persen), dan masa penglihatan (13 persen).

Tim peneliti juga menyoroti soal faktor-faktor yang mempengaruhi kemungkinan penyintas Covid-19 untuk mengalami long Covid. Menurut studi, penyintas Covid-19 yang sempat mengalami gejala berat dan membutuhkan obat imunosupresan seperti tocilizumab memiliki kemungkinan enam kali lebih besar untuk mengalami gejala long Covid.

Individu yang sempat memiliki mendapatkan bantuan oksigen beraliran tinggi saat sakit Covid-19 juga memiliki kemungkinan 40 persen lebih tinggi untuk mengalami long Covid. Menurut studi, wanita juga memiliki kemungkian hampir dua kali lebih besar dibandingkan laki-laki untuk mengalami long Covid. Sedangkan pasien diabetes tipe 2 diketahui memiliki risiko yang lebih rendah untuk mengalami long Covid.

Berdasarkan studi ini, individu yang pernah terinfeksi dengan varian Alpha cenderung menunjukkan gejala emosional dan neurologis yang berbeda dibandingkan dengan individu yang terinveksi varian original SARS-CoV-2.

Juru Bicara Infectious Diseases Society of America, Dr Aaron Glatt, mengatakan temuan ini kembali menjelaskan bahwa varian SARS-CoV-2 yang berbeda memiliki kapabilitas yang berbeda pula. Sebagian mungkin lebih menular dan sebagian lainnya mungkin bisa menyebabkan sakit yang lebih berat.

"Tidak mengejutkan bila ada perbedaan pula dalam long Covid yang disebabkan oleh varian-varian berbeda," jelas Dr Glatt.

Studi terbaru ini merupakan studi observasi sehingga tidak membuktikan hubungan sebab-akibat. Studi ini juga memiliki beberapa keterbatasan lain yang perlu ditunjang dengan studi lebih lanjut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement