Kamis 31 Mar 2022 00:10 WIB

Sri Lanka Alami Pemadaman Listrik Berkepanjangan

Sri Lanka tidak mampu membayar pengiriman bahan bakar karena kekurangan devisa

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Penjaga toko tengah berbicara dengan pembeli di toko di tengah pemutusan listrik di  Colombo, Sri Lanka
Foto: AP Photo/Eranga Jayawardena
Penjaga toko tengah berbicara dengan pembeli di toko di tengah pemutusan listrik di Colombo, Sri Lanka

REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Bisnis dan rumah tangga di Sri Lanka menghadapi pemadaman listrik selama 10 jam pada Rabu (30/3/2022). Regulator listrik mendesak lebih dari satu juta pegawai pemerintah untuk bekerja dari rumah guna menghemat bahan bakar.

"Kami mengajukan permintaan kepada pemerintah untuk mengizinkan sektor publik, yaitu sekitar 1,3 juta karyawan, untuk bekerja dari rumah selama dua hari ke depan sehingga kami dapat mengelola kekurangan bahan bakar dan listrik dengan lebih baik," ujar Ketua Umum Komisi Utilitas Sri Lanka Janaka Ratnayake.

Negara kepulauan itu tidak mampu membayar pengiriman bahan bakar karena kekurangan devisa dan siap untuk mencari bantuan dari Dana Moneter Internasional (IMF). Sri Lanka saat ini mengalami krisis ekonomi terburuk dalam beberapa dasawarsa.

Cadangan devisa telah turun 70 persen dalam dua tahun terakhir dan turun menjadi 2,31 miliar dolar AS per Februari. Kondisi ini membuat Sri Lanka berjuang untuk mengimpor kebutuhan pokok, termasuk makanan dan bahan bakar.

Pemadaman listrik berlarut-larut terbaru ini, menurut Ratnayake, sebagian disebabkan oleh ketidakmampuan pemerintah untuk membayar 52 juta dolar AS untuk pengiriman diesel sebanyak 37.000 ton yang sedang menunggu pembongkaran. "Kami tidak memiliki valas untuk dibayar. Itulah kenyataannya," katanya memperingatkan lebih banyak pemadaman listrik selama dua hari ke depan.

Saham Sri Lanka ditutup turun 3,6 persen pada Rabu, setelah jatuh lebih dari 7 persen pada siang hari, mendorong Bursa Efek Kolombo untuk menghentikan perdagangan dua kali. Kepala Strategi di perusahaan riset ekuitas CAL Research Udeeshan Jonas mengatakan, pasar merespons krisis yang semakin dalam yang dipicu oleh pemotongan pajak yang tidak tepat waktu, pandemi virus korona, dan keuangan pemerintah yang secara historis lemah.

"Investor tidak bisa melihat ujung terowongan," kata Udeesha.

Untuk mencari jalan keluar dari krisis, Menteri Keuangan Sri Lanks Basil Rajapaksa akan mengunjungi Amerika Serikat (AS) untuk pembicaraan dengan IMF pada April. Penilaian IMF mengatakan Sri Lanka sedang mengalami gabungan neraca pembayaran dan krisis utang negara, dan akan membutuhkan strategi komprehensif untuk membuat utangnya berkelanjutan. Jika Sri Lanka mendapatkan program IMF, itu akan menjadi paket penyelamatan keuangan ke-17 dari pemberi pinjaman global.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement