Selasa 29 Mar 2022 08:57 WIB
Rumah Gagasan

Urgensi Literasi Informasi di Masa Pandemi

Pandemi adalah momentum yang tepat bagi masyarakat untuk meningkatkan literasi.

Dunia digital (ilustrasi).
Foto: Freepik.com
Dunia digital (ilustrasi).

Oleh : Iwan Awaluddin Yusuf, PhD*

REPUBLIKA.CO.ID, Media adalah sumber utama publik mempe­ro­leh informasi di tengah pandemi, baik informasi yang berasal dari media arus utama (mainstream),media sosial, maupun pu­blikasi berbasis akademik seperti jurnal dan pe­ne­litian ilmiah. Fakta global saat ini menunjukkan bahwa masyarakat lebih sering menggunakan media sosial dibandingkan media lainnya untuk memenuhi kebutuhan informasi sehari-hari. 

Tingginya penggunaan media digital juga men­jawab perubahan kebiasaan bermedia masya­­rakat yang semula untuk memperoleh infor­ma­si, kini sekaligus untuk berbagai informasi. Ka­rakter­istik media digital memungkinkan proses pertu­karan informasi tersebut lebih cepat dan mu­dah. Ter­koneksi dengan aplikasi media sosial, masya­ra­kat tidak hanya pasif menjadi konsumen infor­masi, kini sekaligus berperan sebagai prosu­men, yakni produsen sekaligus konsumen infor­masi. 

Dengan fitur-fitur terbaru yang disediakan me­­dia sosial yang semakin kompatibel dengan pe­­­­rang­kat digital terbaru, masyakarat semakin giat memproduksi sendiri pesan dan membagi­kan­nya kepada orang lain dengan cara share, for­ward, upload, tweet-retweet, post-repost, dan se­ba­gainya.

Pada akhirnya, masyarakat dunia yang meng­gunakan tekologi informasi berhadapan dengan kehadiran beragam informasi yang sangat ber­limpah dengan, meskipun tidak selalu diperlukan. Keberlimpahan informasi juga banyak diwarnai dengan terjadinya distorsi, misinformasi, dan disinformasi. Dalam situasi pandemi Covid-19, berbagai informasi yang bertebaran menyaru sebagai hoaks sehingga sulit dibedakan apakah informasi tersebut adalah nyata (real facts), pe­ngetahuan semu (pseudo science), atau hanya berupa teori konspirasi (conspiracy theory). 

Kondisi seperti ini melahirkan fenomena info­demik (infodemics), yakni melimpah ruahnya bera­gam informasi di masa pandemi. Banjir infor­masi—baik akurat maupun hoaks—membuat masyarakat menjadi kesulitan untuk menemukan sumber pan­duan yang dapat dipercaya ketika dibutuhkan.

Literasi informasi

Infodemik terjadi karena berbagai penyebab. Faktor utama karena rendahnya literasi. Selain itu, disinformasi dapat terjadi karena beragam fak­tor seperti bias informasi dalam ruang gema (echo chamber), adanya kesengajaan menyebar infor­masi palsu, adanya kepentingan tertentu, kebiasaan malas membaca, motivasi mencari sensasi, kebiasaan hanya mengikuti tren, terlalu mudah percaya, kema­lasan dalam melakukan cek fakta, serta perasaan bangga menjadi yang per­tama atau tercepat.

Pandemi adalah momentum yang tepat bagi masyarakat untuk meningkatkan literasi, baik lite­rasi informasi, literasi media dan literasi digital yang semuanya berkaitan dengan pengetahuan dan sikap dalam mengakses dan menyebarkan informasi. Gencarnya terpaan informasi yang ter­sebar melalui teknologi dan media digital namun tidak diimbangi dengan kecakapan pengaksesnya bisa memberi dampak buruk yang tidak diingin­kan. Untuk itu literasi informasi sangat diperlukan.

Literasi informasi adalah serangkaian penge­tahuan dan kemampuan yang dibutuhkan sese­orang untuk menyadari kapan informasi dibu­tuhkan serta kemampuan untuk menempatkan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi yang dibutuhkan se­cara efektif. Pengguna teknologi yang memiliki ke­cakapan literasi informasi akan memiliki kesadaran, kendali, dan batasan yang jelas dalam menggunakan media dan teknologi. Ini sejalan dengan konsep literasi media yang ber­peran penting dalam berin­teraksi dengan media secara proporsional, termasuk dalam penggu­naan media sosial.

Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) me­rumuskan seperangkat keterampilan literasi informasi terkait dengan pemahaman dan ke­mam­­puan seseorang dalam mengakses, menye­lek­si, memahami, menganalisis, memverifikasi, mengevaluasi, mendistribusikan, memproduksi, ber­partisipasi, dan berkolaborasi dalam mencer­daskan masyarakat melalui kegiatan literasi. 

Dengan literasi informasi, pengetahuan dan ke­mampuan untuk verifikasi atau menyanggah (debun­king) menjadi kata kunci saat menghadapi disinfor­masi. Berbagai teknik tersebut antara lain penyang­gahan berbasis fakta (fact-based debun­king), penyanggahan berbasis logika (logic-based debunking), penyanggahan berbasis kredibilitas sum­ber informasi (source-based debunking), dan penyanggahan ber­basis empati (empathy-based debunking). Terdapat beberapa tautan dan sumber terpercaya sebagai rujukan dalam me­nge­cek atau memverifikasi fakta, misalnya cek fakta, hoax buster, snopes, Truth Or Fiction, Break the Chain, dan sebagainya. 

Sedangkan ciri-ciri orang yang telah memiliki literasi media antara lain terinformasi secara baik mengenai liputan isu media; memahami kontak ke­seharian dirinya dengan media dan pengaruh media pada gaya hidup, sikap dan nilai; terbiasa melakukan telaah sumber informasi; terbiasa melakukan kon­firmasi kepada pihak yang kompe­ten; terbiasa ber­pikir mandiri dalam menentukan opini; memiliki ke­mampuan mengem­bangkan sensitivitas ter­hadap kecenderungan pe­san media; kemampuan mem­pertimbangkan peran media dalam pengam­bi­lan keputusan; ser­ta memiliki kesadaran bahwa ti­dak semua hal perlu diakses, disimpan, dan dibagikan.

Saring sebelum sharing

Tujuan awal berbagai informasi sebenarnya tidak buruk sebagaimana makna yang terkandung dalam ungkapan “sharing is caring”. Namun ba­nyak ragam informasi yang sebenarnya cukup diterima dan berhenti pada diri penerimanya, tidak perlu langsung membagikannya ke orang lain, apa­lagi jika orang tersebut tidak memiliki kom­petensi atau belum melakukan verifikasi atas ke­sa­hihan informasi tersebut. 

Di tengah pandemi, ungkapan “saring sebe­lum sharing” tampaknya lebih relevan dijadikan pega­ngan. Paling tidak, dengan sedikit bersabar, tidak ter­buru-buru langsung membagikan infor­ma­si yang diterima, postingan berkategori disin­formasi mau­pun misinformasi tidak akan sema­kin menyebar luas ke dalam grup-grup percaka­pan online hingga pa­da unit-unit terkecil kelom­pok masyarakat seperti lingkungan kerja, kelom­pok pertemanan, atau keluarga. Di tengah ker­ber­limpahan informasi, sangat penting bagi ma­syarakat untuk meningkatkan lite­rasi informasi sehingga dapat memanfaatkan infor­masi secara sehat dan proporsional. 

 

*Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement