Sabtu 26 Mar 2022 09:05 WIB

Mafia Minyak Goreng, Apa Salah Kebijakan B30?

B30 dianggap biang keladi kelangkaan minyak goreng.

Warga antre membeli minyak goreng curah di sebuah agen penjualan minyak goreng di Tamanagung, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, Kamis (24/3/2022). Mahalnya minyak goreng kemasan membuat warga rela antre berjam-jam untuk mendapatkan minyak goreng curah dengan harga Rp15 ribu per liter dengan dibatasi pembelian sebanyak dua jeriken setiap warga.
Foto: ANTARA/Anis Efizudin
Warga antre membeli minyak goreng curah di sebuah agen penjualan minyak goreng di Tamanagung, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, Kamis (24/3/2022). Mahalnya minyak goreng kemasan membuat warga rela antre berjam-jam untuk mendapatkan minyak goreng curah dengan harga Rp15 ribu per liter dengan dibatasi pembelian sebanyak dua jeriken setiap warga.

Oleh : Ichsan Emrald Alamsyah, Redaktur Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Sejak awal diluncurkan akhir 2019, Presiden Joko Widodo menaruh harapan besar pada program mandatori B30. Presiden Jokowi mengatakan mandatori B30 akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM. 

Sebagai negara penghasil sawit terbesar di dunia, menurut Presiden dua periode ini, sudah sepantasnya Indonesia memanfaatkan minyak sawit sebagai bahan bakar nabati sebagai pengganti bahan bakar solar. 

Dari namanya saja B30 artinya biodiesel berbahan sawit 30 persen dicampur dengan 70 persen BBM jenis solar. Bahkan bukan tidak mungkin Indonesia dengan kekayaan sawitnya bisa menghasilkan B100.

Menurut presiden sedari awal mandatori dijalankan memang difokuskan untuk mengurangi impor BBM. Melalui implementasi B30 ini dapat menghemat devisa hingga Rp 63 triliun. Selanjutnya, penerapan B30 ini akan berdampak pada meningkatnya permintaan domestik akan Crude Palm Oil (CPO), sehingga menguntungkan petani kelapa sawit.

Estimasinya lewat B30 maka multiplier effectnya bisa untungkan 16,5 juta petani kelapa sawit kecil dan menengah, bukan hanya pemilik lahan. Selain itu juga menguntungkan pekerja di pabrik kelapa sawit.

Harapan Presiden Jokowi memang cukup tinggi karena semenjak digulirkan di 2008, program biodiesel cenderung berhasil. Implementasi awal digulirkan di 2008 adalah kadar campuran biodiesel sebesar 2,5 persen.

Kemudian secara bertahap kadar biodiesel meningkat hingga 7,5 persen pada 2010. Pada periode 2011 hingga 2015, persentase biodiesel ditingkatkan dari 10 persen menjadi 15 persen. Selanjutnya, pada 1 Januari 2016, B20 mulai diimplementasikan untuk seluruh sektor terkait.

Hingga kemudian tepat 1 Januari 2020 Pemerintah menggulirkan program mandatori B30. Indonesia tercatat sebagai negara pertama yang menjalankan program B30.

Program ini pun berjalan cukup baik, pada 2020 saja, Pertamina telah menyalurkan B30 sebesar 13,3 juta kiloliter. Berdasarkan pemanfaatannya, Indonesia saat ini jadi produsen biofuel peringkat ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Brasil. Rata-rata produksi biofuel Indonesia mencapai 126.000 barel ekuivalen minyak per hari.

Dianggap Biang Keladi Kelangkaan Migor

Sayangnya, B30 dianggap biang keladi kelangkaan minyak goreng. Tudingan dilakukan oleh ekonom senior Faisal Basri dan serikat petani. Penulis ingin menggarisbawahi bahwa Faisal bukan menolak program mandatori ini namun kebijakan dua harga yang ditetapkan pemerintah.

Jadi begini, peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 23/PMK.05/2022 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menunjukkan jika pemerintah telah menaikkan pungutan dana sawit secara progresif. Jika harga minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) semakin tinggi maka pungutan makin besar.

Dalam kebijakan terbaru, pungutan yang tertinggi adalah jika harga CPO berada di atas 1.500 dolar AS dengan pungutan sebesar 375 dolar AS per ton. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menilai, keputusan pemerintah untuk mengatasi masalah kelangkaan minyak goreng telah mengorbankan petani kelapa sawit di daerah.

Pemerintah mencabut harga eceren tertinggi (HET) dan memberikan subsidi kepada pelaku usaha yang memproduksi minyak curah. Namun, sumber dana untuk subsidi minyak curah tersebut bersumber dari dana sawit dengan jalan menaikkan pungutan dana sawit.

Hal inilah yang dipersoalkan oleh Faisal. Dengan adanya kebijakan dua harga yaitu biodiesel memakai harga internasional, dan minyak goreng memakai harga domestik maka sama saja memberi ruang bagi pihak tertentu memasok biodiesel.

Tentu saja pihak tertentu ini senang memasok biodiesel karena menggunakan harga internasional. Karena memang saat ini harga CPO dunia melambung tinggi.

Sementara curah menggunakan harga domestik, ya jelas langka. Faisal khawatir petani justru tertekan oleh adanya aturan ini.

Hal ini memang diakui petani, terutama Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS). Sekjen SPKS, Mansuetus Darto menyebut, perubahan keputusan pemerintah untuk menaikan pungutan dana sawit adalah kekeliruan yang terus berulang. 

Selama ini, kata dia, sudah banyak petani yang bersuara akibat harga tandan buah segar (TBS) tergerus akibat pungutan dana Sawit. Masalah kelangkaan minyak goreng, menurut dia, membuat petani sawit jadi korban.

"Karena itu, masalah ini bisa diatasi jika program B30 dikurangi menjadi B20. Ini adalah solusi untuk masalah bahan baku, karena bahan baku habis disedot untuk program biodiesel," kata Mansuetus.

Mansuetus pun meminta agar pungutan dana sawit terbaru dibatalkan. Selain itu, ia mendesak program peremajaan sawit harus dimudahkan agar produktivitas petani lebih meningkat.

"Kalau sekarang ini kebutuhan dana untuk subsidi biodiesel B30 sangat besar maka langkah yang seharusnya diambil oleh pemerintah dengan menurunkan target program biodiesel yang saat ini B30 menjadi B20. Jika diturunkan menjadi B20, maka dana sawit akan surplus," katanya.

Selain bahan baku akan tersedia karena diturunkan menjadi B20, kata Mansuetus, dana sawit yang surplus tadi bisa digunakan untuk mengatasi masalah kelangkaan minyak goreng. 

Dia juga menyingung dana di BPDPKS yang berasal dari pungutan periode 2015-2021 sekitar Rp 138 triliun, yang masih tersisa sekitar Rp 22 triliun. "Artinya untuk kepentingan program yang berhubungan dengan petani sawit seperti program peremajaan sawit rakyat masih tersedia dananya," ucap Mansuetus.

Ungkapan ini seakan-akan mengamini apa yang diungkapkan oleh Wakil Ketua DPR, Rachmat Gobel.  Ia membantah adanya mafia minyak goreng di indonesia. Yang ada menurutnya hanyalah kesalahan dalam membuat kebijakan.

Namanya pengusaha menurut Gobel, tentu saja mengambil manfaat dari berbagai hal, termasuk peluang-peluang untuk bisa dapat keuntungan. Dimana keuntungannya, ya dari celah aturan seperti aturan di atas.

Melihat aturan tersebut, sama artinya persoalan minyak goreng membutuhkan kerja sama lintas kementerian. Jangan sampai karena salah kebijakan, program mandatori B30 terpaksa harus diturunkan kembali menjadi B20.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement