Selasa 22 Mar 2022 03:09 WIB

Juru Bicara Sangkal Boris Johnson Samakan Brexit Dengan Perang Ukraina

Johnson mengatakan seperti rakyat Ukraina sudah jadi insting Inggris pilih kebebasan.

Rep: Lintar Satria/ Red: Friska Yolandha
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berbicara dalam konferensi pers di Downing Street, London, Senin 21 Februari 2022, untuk menguraikan rencana jangka panjang baru Pemerintah terhadap COVID-19.
Foto: AP/Tolga Akmen/AFP Pool
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson berbicara dalam konferensi pers di Downing Street, London, Senin 21 Februari 2022, untuk menguraikan rencana jangka panjang baru Pemerintah terhadap COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Juru bicara Boris Johnson mengatakan perdana menteri Inggris itu tidak bermaksud menyamakan langsung perang di Ukraina dengan Brexit. Ia juga tidak akan menarik kembali pernyataannya dalam pidato Sabtu (20/3/2022) yang menarik kritikan.

Pada Sabtu lalu Johnson mengatakan seperti rakyat Ukraina sudah menjadi insting orang Inggris memilih kebebasan. Ia menyinggung tentang hasil referendum untuk keluar dari Uni Eropa.

Baca Juga

"Tidak ada pembanding langsung antara perang di Ukraina (dan Brexit) itu bukan analogi langsung, ia membuat observasi tentang hasrat rakyat pada kebebasan," kata juru bicara Johnson, Senin (21/3/2022).

Pernyataan Johnson itu memicu kritikan dari anggota parlemen oposisi dan pengamat politik. Dalam konferensi Partai Konservatif yang juga dihadiri Duta Besar Ukraina untuk Inggris itu, Johnson mengatakan seperti rakyat Ukraina, insting orang Inggris selalu memilih kebebasan.

"Saya dapat memberi anda sejumlah contoh terkenal paling baru, ketika rakyat Inggris memilih Brexit, sebagian besar, dalam jumlah banyak, saya tidak percaya karena mereka yang memilih diam-diam tidak menyukai orang asing, itu karena mereka ingin kebebasan melakukan hal dengan cara berbeda dan negara dapat dikelola sendiri," kata Johnson.

Pada Juni 2016 lalu sebanyak 52 persen pemilih mendukung Inggris keluar dari Uni Eropa dan 48 persen menolaknya. Ukraina mengajukan permintaan bergabung pada 28 Februari lalu, empat hari setelah Rusia melancarkan invasi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement