Senin 21 Mar 2022 17:28 WIB

Pedagang Kecil di Lampung Terdampak Minyak Goreng Mahal

Pedagang dilema antara menaikkan harga atau terancam rugi usaha.

Rep: Mursalin Yasland/ Red: Fuji Pratiwi
Penjual melayani pembeli gorengan, Ahad (20/3/2022). Sejak dicabutnya kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng (migor), pedagang kecil dan menengah di Lampung merasakan dampak buruknya.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Penjual melayani pembeli gorengan, Ahad (20/3/2022). Sejak dicabutnya kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng (migor), pedagang kecil dan menengah di Lampung merasakan dampak buruknya.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG – Sejak dicabutnya kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng (migor), pedagang kecil dan menengah di Lampung merasakan dampak buruknya. Mencari minyak goreng murah sudah tidak ada lagi ada, sedangkan usaha mereka harus jalan, tapi harga jual produk tidak naik.

Dampak dari mahalnya minyak goreng saat ini, dirasakan pedagang gorengan, usaha rumah makan, dan usaha kerupuk/kemplang yang ada di Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Mereka kesulitan mendapatkan minyak goreng curah di pasar tradisional, sedangkan harga minyak goreng kemasan sudah lebih mahal dari biasanya.

Baca Juga

"Kalau seperti ini kebijakannya, bisa tutup usaha kami. minyak goreng kemasan mahal, minyak goreng curah tidak ada. Sedangkan harga tidak bisa naik," kata Akmal, penjual gorengan di Jalan Raden Indra Kusuma, Bandar Lampung, Senin (21/3/2022).

Menurut dia, kebijakan pencabutan HET migor kemasan dari Rp 14.000 menjadi harga pasar, membuat pelaku usaha menaikkan harga minyak goreng menjadi Rp 23.500 sampai Rp 24.000 per liter bergantung merek. Sedangkan minyak goreng kemasan dua liter paling murah Rp 49 ribu.

"Cari minyak goreng curah di pasar tidak ada, walaupun katanya harga Rp 14.000 per liter," ujar Akmal, yang menjual aneka gorengan sejak 10 tahun lalu.

Sejak minyak goreng kemasan langkah, ia dan pedagang gorengan lainnya sudah menaikkan harga dari Rp 1.000 menjadi 1.200 sampai Rp 1.250 per satu potong gorengan, atau lima buah Rp 5.000. Naiknya harga jual tersebut, kata dia, dinilai telah menurunkan omzet pedagang hampir 50 persen. "Tidak mungkin lagi kami naikkan harga jual," ujarnya.

Mahalnya minyak goreng juga dirasakan industri rumah tangga kerupuk/kemplang. Hadik pengelola usaha kerupuk di Kemiling, Bandar Lampung, merasakan sulitnya mencari minyak goreng curah di pasar. Pasokan minyak goreng curah langganannya sudah tidak mendapatkan jatah lagi dari agennya.

"Kalau sudah sulit cari minyak goreng, mau beli minyak goreng kemasan, jelas mahal. Sedangkan harga kerupuk tidak naik-naik. Kalau naik, pelanggan mengeluh," kata Hadi, yang telah menekuni usahanya sejak 2002.

Menurut dia, pemerintah harus segera mencarikan solusinya bagi usaha kecil dan menengah agar mendapatkan jatah minyak goreng curah sesuai dengan harga pemerintah. Kalau tidak ada solusi dalam jangka waktu singkat, ia mengkhawatirkan banyak mengurangi pekerja, atau juga bisa tutup karena tidak balik modal.

Sedangkan pemilik warung makan atau restoran di Bandar Lampung juga sudah mengeluhkan mahalnya minyak goreng kemasan. Seperti yang dialami Darwati, pemilik restoran di Tanjungkarang, setiap hari harus menggoreng jenis menu makanan untuk siap disajikan dari pagi sampai malam.

"Kebanyakan menu yang kami sajikan memakai minyak goreng. Kalau minyak mahal, lalu pakai apa untuk menggoreng? Terpaksa beli, tapi harga tetap tidak naik, bisa rugi," ujar Darwati, pemilik restoran Padang.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement