Sabtu 19 Mar 2022 13:52 WIB

Ujung Cerita Kisruh Minyak Goreng: Kapitalisme Berjaya, Rakyat Merana

Minyak goreng jadi barang mahal, meksi Indonesia produsen terbesar CPO di dunia.

 Konsumen membeli minyak goreng kemasan di Yogya Department Store, Jalan K HZ Mustofa, Kota Tasikmalaya, Rabu (16/3/2022). Di tempat itu, harga minyak goreng dijual dengan harga Rp 47.800 per kemasan isi dua liter.
Foto: Republika/Bayu Adji
Konsumen membeli minyak goreng kemasan di Yogya Department Store, Jalan K HZ Mustofa, Kota Tasikmalaya, Rabu (16/3/2022). Di tempat itu, harga minyak goreng dijual dengan harga Rp 47.800 per kemasan isi dua liter.

Oleh : Andri Saubani, Redaktur Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Misteri kelangkaan minyak goreng, khususnya kemasan, yang terjadi sekitar dua bulan terakhir akhirnya tersingkap pada pekan ini. Ternyatan, stok minyak goreng sebenarnya selama ini tersedia dan mencukupi untuk kebutuhan masyarakat, tetapi para produsen kompak menahan barang lantaran ogah menjualnya dengan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 14 ribu per liter. Buktinya, begitu pemerintah mencabut aturan HET pada Rabu (16/3) sore, rak-rak di minimarket segera kembali dijejali minyak-minyak goreng kemasan ukuran 1 dan 2 liter tapi dengan harga yang langsung meroket sesuai harga pasar pada kisaran Rp 24 ribu per liter.

Banjirnya kembali stok minyak goreng kemasan di toko-toko ritel jadi ilustrasi yang menyolok mata bagaimana pemerintah telah kalah melawan kapitalisme. Pemilik modal, pengusaha, atau produsen minyak yang di Indonesia artinya juga pemilik kebun sawit berjaya atas negara yang akhirnya menyerah pada mekanisme pasar. Rakyat yang berharap pada kuasa pemerintah melakukan mekanisme kontrol terhadap harga-harga dan ketersediaan kebutuhan pangan pun, terus merana.

Setelah sebelumnya rakyat di mana-mana harus antre mendapatkan minyak goreng dengan harga HET, kini berdasarkan reportase wartawan Republika di lapangan, konsumen minyak goreng terkaget-kaget melihat deretan daftar harga minyak goreng kemasan yang mendadak berjubel di toko ritel. Sementara, sebagian dari mereka yang berupaya mencari minyak goreng curah bersubsidi di warung klontong atau pasar tradisional, juga kecewa karena tetap pulang dengan tangan hampa.

Laksana ayam mati di lumbung padi. Peribahasa itupun kembali populer sekarang ini.

Sebagai negara pemroduksi sawit dan CPO terbesar di dunia, Indonesia justru tidak bisa berdaulat atas ketersediaan minyak goreng. Minyak goreng di pasar dalam negeri bisa langka saat produsen memanen sawit dari kebunnya sendiri. Para produsen hanya mau mengikuti mekanisme pasar dan ‘menyandera’ pemerintah yang akhirnya tak berdaya dan menuruti dan mencabut HET disusul DMO (domestic market obligation). 

Alasan pemerintah mencabut HET dan DMO, terlalu kompleks hitung-hitungan angkanya untuk dijabarkan di sini. Intinya, pemerintah tak lagi bisa menjamin minyak goreng tersedia banyak di pasaran dengan harga yang tetap murah.

Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) sejak awal udah menduga adanya praktik kartel dalam industri minyak goreng di Indonesia. Dan menurut saya, KPPU harus melanjutkan dugaannya itu ke proses hukum dan pengadilan.

Premis dan analogi yang dimiliki KPPU atas dugaan adanya kartel juga masuk akal.

Kenapa para produsen enggan bersaing harga? Kenapa tidak ada satupun produsen merebut pasar saat stok minyak goreng langka, toh mereka akan mendapatkan subsidi dari pemerintah atas selisih harga akibat dari kebijakan HET? Saat harga CPO di pasar dunia turun, contohnya pada 2017, mengapa dari semua merek minyak goreng yang ada, tidak ada satupun yang harganya ikut turun? Itulah di antara pertanyaan-pertanyaan yang tengah diselidiki KPPU.

Dalam rapat kerja dengan DPR pada Kamis (17/3), Mendag M Lutfi melontarkan peryataan yang kontradiktif. Mengakui bahwa pemerintah tidak bisa mengontrol pasar akibat dari sifat manusia yang rakus dan jahat, tetapi menolak anggapan bahwa pemerintah menyerah terhadap pengusaha. Apa pun dalih pemerintah, bagi DPR pemerintah bak ‘macan ompong’ yang sudah jatuh wibawanya lantaran kartel dengan gampangnya mendikte pasar. 

Jika KPPU tengah melakukan penyelidikan dari aspek hukum, DPR pun semestinya mengambil langkah politik penyelidikan lewat penggunaan Hak Angket membentuk panitia khusus (pansus).  Lewat panitia angket, semua pemangku kepentingan, mulai dari pemilik kebun sawit; produsen minyak goreng; distributor; peritel hingga wakil dari pemerintah nantinya bisa dipanggil DPR dan secara terbuka memberikan keterangan. 

Saat tulisan ini dibuat, Fraksi PKS pada Jumat (18/3) kabarnya menjadi yang pertama mengusulkan Pansus Hak Angket Kelangkaan dan Kemahalan Minyak Goreng. Menarik ditunggu respons dari fraksi atau partai lain atas usulan PKS ini. Apakah partai-partai lain juga akan kompak membongkar dugaan kartel minyak goreng lawat jalur politik, atau malah yang terjadi sebaliknya: perkara ini dibiarkan menguap begitu saja.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement