Kamis 17 Mar 2022 20:56 WIB

Mendag: Pemerintah tak Kalah dengan Pengusaha

Pemerintah menaikkan tarif batas atas pungutan ekspor CPO.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Nidia Zuraya
Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi mengikuti rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/3/2022). Rapat tersebut membahas kelangkaan dan harga Minyak Goreng sekaligus membahas mengenai harga komoditas dan kesiapan dalam stabilisasi harga dan pasokan barang kebutuhan pokok menjelang puasa dan lebaran.Prayogi/Republika.
Foto: Prayogi/Republika.
Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi mengikuti rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/3/2022). Rapat tersebut membahas kelangkaan dan harga Minyak Goreng sekaligus membahas mengenai harga komoditas dan kesiapan dalam stabilisasi harga dan pasokan barang kebutuhan pokok menjelang puasa dan lebaran.Prayogi/Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi menegaskan, pemerintah tak menyerah terhadap permasalahan komoditas pangan saat ini, khususnya minyak goreng. Ia juga membantah, pemerintah tak kalah dengan pengusaha ketika mengeluarkan kebijakan-kebijakan.

"Jadi bapak ketua (Komisi VI), kalau kita lihat ini sekarang, kalau ditanya 'apakah kita kalah dengan pengusaha?' tidak," tegas Lutfi yang kemudian memukulkan tangannya ke meja dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR, Kamis (17/3/2022).

Baca Juga

Bukti tak kalahnya pemerintah oleh pengusaha disebutnya lewat kenaikan tarif ekspor untuk menjaga pasokan CPO dalam negeri dan membiayai subsidi migor curah dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp 14 ribu per liter. Subsidi minyak goreng curah berasal dari dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Sumber dana BPDPKS ini berasal dari tarif ekspor CPO. Kementerian Perdagangan akan menaikkan tarif ekspor dari 375 dolar AS per ton menjadi 675 dolar AS per ton. Untuk menaikkan kemampuan BPDPKS, batas atas DP ekspor akan dinaikkan dari 1.000 dolar AS per ton menjadi 1.500 dolar AS per ton.

"Itu setara dengan 120 dolar per tonnya untuk yang ekspor, kalau kita ekspor 34 juta ton artinya biayanya itu 3,6 miliar dibayar oleh pengusaha. Nah sekarang bapak dan ibu, ini katanya tidak jalan, karena satu dan lain hal ini terjadi ketegangan di mana minyak tidak berjalan dengan baik," ujar Lutfi.

"Jadi semua keuntungan ketika mereka mau ekspor itu, dipotong oleh levy itu dari yang sekarang 1000 flat menjadi 1.500, setiap naik duit 50 dollarnya, mereka mesti bayar 20 dolar. Angkanya berapa? menurut perhitungan saya 300 dollar, yang tadinya 375, sekarang  menjadi 675," sambungnya.

Di samping itu, ia menjelaskan, kenaikan harga pangan memang menjadi permasalahan dunia dalam dua tahun terakhir, bahkan sebelum pandemi Covid-19. Masalah tersebut semakin diperparah dengan adanya invasi Rusia ke Ukraina yang turut mempengaruhi harga dan distribusi komoditas pangan.

Lutfi menjelaskan, harga minyak goreng sebelum pandemi adalah sekitar 100 dolar AS dan batu bara bahkan menembus 430 dolar AS per ton. Inflasi sudah terjadi di Amerika Serikat dan China sebelum pandemi Covid-19 dan perang Rusia dan Ukraina.

"Yang saya katakan, kesalahan yang tidak bisa saya prediksi dari saya itu adalah memprediksi akan terjadi perang yang membuat harga-harga loncat. Itu saya akui dengan sepenuh hati dari hati yang paling dalam," ujar Lutfi.

"Sekali lagi saya katakan, kita sebagai pemerintah, saya sebagai pemerintah, tidak bisa kalah dari mafia. Apalagi spekulan-spekulan yang merugikan rakyat, itu saya jamin," kata Lufti menegaskan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement