Kamis 17 Mar 2022 15:39 WIB

Gempa Hidupkan Lagi Kekhawatiran Terhadap Reaktor Nuklir Fukushima

Kekhawatiran kembali muncul tentang dampak dari reaktor nuklir akibat gempa

Rep: Fergi Nadira B/ Red: Esthi Maharani
Reaktor Nuklir Fukushima
Reaktor Nuklir Fukushima

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO - Gempa berkekuatan 7,3 skala richter (SR) mengguncang lepas pantai Fukushima di Jepang utara pada Rabu (16/3/2022) malam. Kekhawatiran rakyat kembali muncul tentang dampak dari pembangkit nuklir itu akibat gempa.

Wilayah lepas pantai Fukushima adalah bagian dari Jepang utara yang hancur oleh gempa mematikan berkekuatan 9,0 SR dan tsunami pada 11 tahun lalu. Saat itu, gempa juga memicu kehancuran pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima. Bencana itu melumpuhkan pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima dan menewaskan hampir 16 ribu orang.

Baca Juga

Pada gempa Rabu, tidak ada kelainan yang dilaporkan di pembangkit nuklir, meskipun pihak berwenang sebelumnya mengatakan alarm kebakaran telah menyala di gedung turbin di pembangkit Fukushima Daiichi. Pada peringatan 11 tahun gempa bumi awal bulan ini, beberapa anggota parlemen dari partai yang berkuasa mendesak pemerintah untuk mempercepat dimulainya kembali pembangkit listrik tenaga nuklir yang masih ditutup karena masalah keamanan.

Namun, kepercayaan publik belum sepenuhnya pulih. Hal ini menimbulkan tantangan bagi upaya Perdana Menteri Fumio Kishida untuk memulai kembali pabrik pembangkit listrik tenaga nuklir Jepang yang tidak beroperasi.

Sebuah jajak pendapat tahunan oleh Asahi Newspaper pada Februari menunjukkan, 47  persen responden menentang dilanjutkannya reaktor nuklir Jepang. Sementara 38 persen mendukung, meskipun kesenjangan itu telah menyempit selama beberapa tahun terakhir.

Mantan wakil ketua Komisi Energi Atom Kantor Kabinet Jepang Tatsujiro Suzuki mengatakan, komunikasi yang buruk dengan publik tetap menjadi masalah bagi Jepang dibandingkan dengan upaya Amerika Serikat dan Prancis.

"Tidak ada saluran komunikasi yang baik antara industri, regulator dan masyarakat lokal," kata Suzuki, seorang profesor di Universitas Nagasaki.

Dia pun menyerukan skema hukum untuk menyediakan sarana untuk berkomunikasi yang adil. Setelah tahun 2011, Jepang telah menetapkan standar keselamatan yang lebih ketat dan peraturan yang diperketat dengan pengawas independen dari industri energi nuklir.

Penghalang tsunami dan pintu anti air pasang sekarang wajib, seperti halnya perlindungan untuk generator cadangan untuk mencegah pendinginan teras reaktor. Listrik dari pembangkit nuklir merosot hampir nol pada tahun 2014 setelah bencana Fukushima, tetapi sekarang mencapai sekitar 3 persen dari total produksi energi. Pemerintah ingin meningkatkannya menjadi 20 persen-22 persen pada tahun 2030.

Kini, hanya enam reaktor yang beroperasi dibandingkan dengan sebelum bencana Fukushima yakni 54 reaktor. Banyak lainnya masih menjalani proses lisensi ulang di bawah standar keamanan yang lebih ketat.

"Pembangkit listrik tenaga nuklir belum tentu menjadi sumber energi yang stabil lagi. Jika terjadi gempa, ada risiko harus ditutup," kata Suzuki.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement