Rabu 16 Mar 2022 19:24 WIB

2 Badai Matahari Menyerang Bumi, Apa Dampaknya?

Badai tersebut terjadi pada Senin 14 Maret dan Selasa 15 Maret.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Dwi Murdaningsih
Badai Matahari (ilustrasi)
Badai Matahari (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan cuaca pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Inggris mengumumkan serangkaian badai geomagnetik ringan atau badai matahari yang menyerang bumi. Menurut mereka, badai tersebut terjadi pada Senin 14 Maret dan Selasa 15 Maret.

Badai tidak akan menyebabkan kerusakan apa pun di bumi, kecuali kekacauan transmisi radio dan stabilitas jaringan listrik di garis lintang tinggi. Selain itu, badai juga berdampak pada aurora borealis, yaitu fenomena alam yang menghasilkan pancaran cahaya di langit di langit pada malam hari.

Baca Juga

Aurora dapat terlihat di garis lintang yang rendah dari biasanya. Menurut Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional AS (NOAA), kemungkinan itu sejauh selatan New York dan Idaho.

NOAA mengategorikan badai yang datang dalam kategori G2 pada Senin dan G1 pada Selasa berdasarkan tingkatan skala badai dengan yang tertinggi adalah G5 yang paling ekstrem. Menurut NOAA, bumi mengalami lebih dari 2.000 badai matahari kategori G1 dan G2 setiap dekade. Saat ini, badai matahari yang menimpa bumi masih dalam kategori ringan.

Peristiwa badai matahari berasal dari ledakan partikel bermuatan yang meninggalkan atmosfer terluar matahari atau korona. Ledakan ini yang dikenal sebagai lontaran massa korona (CME) terjadi ketika garis-garis medan magnet di atmosfer matahari  lalu mengeluarkan semburan plasma dan medan magnet ke luar angkasa.

Gumpalan besar partikel ini berlayar melintasi tata surya dan terkadang melewati bumi. Dalam prosesnya, gumpalan itu menekan perisai magnet bumi sehingga memicu badai geomagnetik. Sebagian besar badai bersifat ringan, hanya merusak teknologi di ruang angkasa atau pada garis lintang yang sangat tinggi.

Namun, NOAA memperingatkan, CME yang lebih besar dapat memicu badai yang jauh lebih ekstrem, seperti peristiwa Carrington 1859 yang menyebabkan arus listrik menjadi kuat sehingga peralatan telegraf meledak menjadi api.

Beberapa ilmuwan telah memperingatkan badai matahari lain dengan ukuran besar dapat menjerumuskan bumi ke dalam "Kiamat Internet", peristiwa yang membuat negara-negara tidak terhubung ke internet hingga berbulan-bulan.

Badai matahari juga berdampak pada aurora. Ketika CME menghantam atmosfer bumi, plasma surya mengalami ionisasi molekul oksigen dan nitrogen sehingga membuatnya bersinar. CME yang kuat dapat mendorong aurora ke garis lintang yang lebih selatan dibandingkan biasanya. Menurut Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA), itu terjadi selama Acara Carrington, cahaya utara terlihat di Hawaii.

Dilansir Live Science, Rabu (15/3), NOAA menyebut sejak pertengahan Januari, hampir setiap hari matahari telah menghasilkan CME. Titik saat badai matahari dan CME paling aktif terjadi saat Solar Maximum atau Maksimum Matahari yang dikenal sebagai periode reguler aktivitas matahari terbesar selama siklus matahari 11 tahun matahari. Maksimum Matahari berikutnya akan mencapai sekitar Juli 2025 dengan aktivitas matahari cenderung meningkat sepanjang waktu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement