Kamis 17 Mar 2022 06:14 WIB

The Crazy Rich yang Too Good To Be True

Masifnya iklan jualan para Crazy Rich menggoda masyarakat untuk memasukkan uangnya.

Sejumlah barang bukti kasus penipuan aplikasi Qoutex saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (15/3/2022). Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menetapkan Doni Salmanan sebagai tersangka kasus penipuan aplikasi Qoutex Doni Salmanan dengan barang bukti aset berupa uang tunai Rp 3,3 miliar, dua unit rumah, 18 kendaraan roda dua dan 6 kendaraan roda empat serta 97 item barang bukti lainnya, dengan estimasi jumlah barang bukti apabila dikalkulasikan sebanyak Rp 64 miliar.  Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika
Sejumlah barang bukti kasus penipuan aplikasi Qoutex saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (15/3/2022). Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menetapkan Doni Salmanan sebagai tersangka kasus penipuan aplikasi Qoutex Doni Salmanan dengan barang bukti aset berupa uang tunai Rp 3,3 miliar, dua unit rumah, 18 kendaraan roda dua dan 6 kendaraan roda empat serta 97 item barang bukti lainnya, dengan estimasi jumlah barang bukti apabila dikalkulasikan sebanyak Rp 64 miliar. Republika/Putra M. Akbar

Oleh : Indira Rezkisari*

REPUBLIKA.CO.ID, Saya itu tergolong telat mengetahui fenomena Crazy Rich yang ramai dibicarakan minggu-minggu terakhir. Nama-nama seperti Indra Kenz dan Doni Salmanan, terus terang saya baru dengar ketika mereka terjerat kasus.

Sebagai jurnalis, gara-gara mengedit beritanya juga saya takjub dengan kekayaan yang mereka miliki. Doni Salmanan misalnya, di usia 23 tahun, disebut memiliki tabungan dengan isi rekening hingga Rp 500 miliar. Total aset yang disitanya mencapai nilai Rp 64 miliar. Terdiri dari mobil mewah, beberapa rumah, 18 motor, hingga pakaian. Yang mungkin kalau saya boleh tebak pakaian branded yang harganya selangit.

Baca Juga

Uniknya, Doni ini menurut keterangan Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Asep Edi Suheri baru mengantongi kekayaan fantastisnya setahun terakhir. Tepatnya sejak ia berprofesi sebagai afiliator aplikasi judi online berkedok perdagangan itu. Sebagai afiliator Doni bertugas membuat video atau konten terkait Quotex atau judi online yang dipromosikannya sebagai investasi.

Menurut polisi, Doni sebenarnya tak pernah bermain di aplikasi itu. Dalam video Doni namun seolah-olah mendapatkan uang miliaran rupiah dari hasil bermain perdagangan valas di aplikasi Quotex. Video memang sengaja dibuat untuk meyakinkan masyakarat bergabung.

Quotex adalah aplikasi yang muncul sejak tiga tahun lalu di bidang perdagangan valas. Untuk ikut 'berinvestasi' anggota harus memasukkan modalnya kemudian bertaruh dengan menebak harga nilai valas dalam waktu tertentu.

Profesi afiliator macam Doni tak ubahnya tenaga pemasaran atau sales. Mereka meraup keuntungan ketika ada anggota yang berhasil digandeng untuk 'berinvestasi' dan gongnya adalah Doni bisa mendapatkan keuntungan hingga 80 persen bila anggota yang digandengnya kalah dan 20 persen bila anggota yang diajaknya menang.

Kekayaan Doni pun melesat hanya dalam setahun. Karena menurut keterangan Polri, Doni baru bergabung sebagai afiliator sejak 15 Maret 2021. Bahkan KTP Doni masih mencantumkan pekerjaannya di masa lalu, yaitu sebagai buruh lepas.

Oke lah, cukup tentang Doni dan Indra. Praktik investasi bodong sebenarnya bukan barang baru di Tanah Air. Sejak zaman kuda gigit besi, alias dari zaman kakek saya masih eksis, upaya penipuan keuangan sudah terjadi. Entah bentuknya arisan palsu, atau ajakan berinvestasi di tanah dan perkebunan yang ternyata tidak pernah ada.

Hingga ke bentuk-bentuk investasi bodong yang paling baru seperti yang diduga dilakukan oleh para Crazy Rich itu. Bedanya saat ini aksi investasi bodong bisa lebih masif dari sebelumnya karena calon korban yang disasar menjadi lebih luas berkat pengaruh internet.

Saya contohnya, memang sebelumnya tidak pernah dengar sosok bernama Indra Kenz atau Doni Salmanan. Tapi harus saya akui nama-nama terduga penipuan investasi berkedok judi online seperti Binomo atau Quotex tak asing. Iklan mereka mudah ditemukan, saat saya membuka Youtube, membuka laman daring, hingga media sosial seperti Instagram.

Ketua Asosiasi Perdagangan Berjangka Komoditi Indonesia (Aspebtindo) Udi Margo Utomo, iklan investasi bodong banyak beredar di internet lantaran mereka memiliki dana ilegal yang cukup besar. Karena para pelaku binary option dan robot trading itu mampu beriklan secara masif akibatnya banyak yang mudah tertipu.

Kondisi itu turut diamini oleh Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Pasar Bappebti Tirta Karma Senjaya. Maraknya iklan investasi bodong menjadi penyebab utama masyarakat kerap tertipu dengan aktivitas ilegal itu. Terlebih, di masa pandemi masyarakat banyak menghabiskan waktu untuk menggunakan internet sehingga mereka sering menerima informasi iklan dari investasi bodong tersebut.

Bayangkan saja Satgas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis fakta bahwa praktik-praktik investasi bodong telah merugikan masyarakat Indonesia hingga Rp 117,4 triliun dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Godaan untuk memiliki uang lebih memang menghantui kalau saya boleh bilang. Pandemi Covid-19 membuat kehidupan bak dibolak-balik. Cobaannya ada saja. Mulai dari ancaman PHK, perlambatan ekonomi, masalah kesehatan karena terpapar Covid-19 misalnya, kehilangan keluarga akibat Covid-19 dan lainnya membuat masyarakat mencoba mencari cara lain untuk menambah pemasukan.

Tapi dalam berinvestasi ada satu prinsip yang saya pegang teguh sejak pertama kali terjun ke pasar modal untuk berinvestasi reksadana 14 tahun lalu. "If it is too good to be true, then it is probably isn't."

Maksudnya jangan mudah tergiur dengan hasil besar saat ditawari program investasi atau penggandaan uang apapun. Karena faktanya, tawaran-tawaran seperti itu hanya manis di awal. Untung di depan tapi terus buntung di belakang.

Lihat saja Doni Salmanan dan Indra Kenz sekarang. Postingan mereka di media sosial masing-masing yang mencitrakan anak muda Indonesia sukses dengan uang berlimpah musnah sudah. Betul kan, if it is too good to be true, then it is probably isn't.

*Penulis adalah jurnalis Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement