Rabu 16 Mar 2022 06:12 WIB

Aksara Arab dan Islamisasi Asia Tenggara

Aksara Arab dan Islamisasi Asia Tenggara

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Aksara Arab dan Islamisasi Asia Tenggara - Suara Muhammadiyah
Aksara Arab dan Islamisasi Asia Tenggara - Suara Muhammadiyah

Oleh: Azhar Rasyid

Dewasa ini, masyarakat di setiap negara di Asia Tenggara menggunakan bahasa nasionalnya masing-masing dalam berkomunikasi. Sebagian di antaranya juga menggunakan aksara Latin, yang diperkenalkan oleh bangsa-bangsa Eropa yang menjajah negerinya di masa silam. Ada satu aksara yang dahulu pernah menjadi perantara penyebaran agama Islam di Asia Tenggara dan dipakai sebagai sarana mengekspresikan ide dan pemikiran oleh para ulama dan kaum intelektual Asia Tenggara namun kini sudah jarang dipakai kecuali oleh kalangan pesantren atau untuk acara seremonial, yaitu aksara Arab.

Penggunaan aksara Arab yang dikombinasikan dengan bahasa lokal pernah menjadi hal yang lazim di beberapa bagian Asia Tenggara di masa silam. Di Sumatera dan Semenanjung Malaya kombinasinya itu dikenal sebagai Arab Melayu, sementara di Jawa ia disebut sebagai Arab Pegon, Abjad Pegon atau Arab Jawa. Istilah bahasa Inggrisnya adalah Jawi script.

Aksara Arab memainkan peranan signifikan dalam proses Islamisasi di Asia Tenggara. Guna memahami ini, sejarahnya mesti diletakkan dalam konteks masa yang lebih panjang. Pengaruh Hindu dari India sudah masuk ke Kepulauan Nusantara sejak sekitar awal tahun Masehi. Antara abad 4 hingga abad 16, pengaruh Hindu serta Buddha termanifestasi dalam bentuk lahirnya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha, seperti Tarumanegara di Jawa Barat (diperkirakan abad 4), Sriwijaya (abad 7-11) dan Majapahit (abad 13-16). Secara kultural, pengaruh Hindu, khususnya di kalangan istana dan di lapangan keagamaan, hadir dalam bentuk penggunaan bahasa Sanskerta, bahasa yang lazim dipakai oleh kalangan rohaniwan Hindu di India, serta penggunaan aksara Pallawa.

Penyebaran Islam di Nusantara sejak abad 13 membawa aksara dan bahasa baru kepada masyarakat di Asia Tenggara, khususnya di Kepulauan Nusantara. Teori tentang awal mula dan pembawa Islam ke Asia Tenggara beragam, dan sejarawan masih terus mengeksplorasi bukti-bukti sejarah baru untuk memastikannya. Yang jelas, para sejarawan sepakat bahwa salah satu kelompok pembawa Islam ke Nusantara adalah para pedagang dan pelaut Muslim yang berasal dari negeri-negeri berbahasa Arab. Pengaruh Islam hadir secara perlahan di Nusantara, pertama-tama di ujung barat Pulau Sumatera, lalu di Semenanjung Malaya serta di Jawa dan bagian timur Indonesia. Awalnya ialah dalam bentuk konversi ke Islamnya penduduk Perlak di Aceh pada akhir abad 13. Di fase berikutnya, pengaruh bahasa dan aksara Arab, yang menjadi medium penyebaran agama Islam, mulai muncul dalam sistem komunikasi tertulis di dunia Melayu.

Catatan tertulis pertama yang memberi kita informasi tentang penggunaan paling awal aksara Arab dalam mengekspresikan narasi dari bahasa Melayu adalah prasasti Terengganu, yang ditemukan di Terengganu, Semenanjung Malaya. Prasasti ini ditemukan pada akhir abad 19 dan di Malaysia dianggap sebagai salah satu batu bersejarah yang menandai permulaan peradaban Melayu Islam di sana. Tahun asal prasasti ini masih dalam perdebatan (karena ada bagian prasastinya yang hilang), namun diperkirakan berasal dari antara tahun 1303-1387. Tulisan di prasasti ini sepenuhnya memakai aksara Arab tanpa baris (Arab gundul), dengan bahasa utama yang dipakai adalah bahasa Melayu, plus sejumlah kata dari bahasa Sanskerta dan Arab.

Menurut James Sneddon dalam bukunya, The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society, ada beberapa hal menarik yang bisa diperhatikan dari prasasti tersebut. Batu itu dibuat pada masa ketika Terengganu sendiri masih merupakan wilayah bawahan Kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu-Buddha. Pengaruh Hindu-Buddha masih terasa kuat di prasasti yang mengandung aksara Arab itu. Beberapa kosa kata Sanskerta yang dipakai di sana berasal dari tradisi Hindu-Buddha, seperti ‘Dewata Mulia Raya’, ‘ugama’, ‘derma’, ‘raja’, dan ‘adi’. Tapi, istilah dari bahasa Arab juga muncul di sini, seperti ‘Islam’, ‘Rasul’, ‘Allah’, serta penanggalan dari sistem kalender Islam (seperti ‘Juma’at’ dan ‘Rejab’).

Selain dari penggunaan aksara Arab dan munculnya beberapa kosa kata khas Islam di prasasti ini, pengaruh besar Islam di Terengganu tampak dalam konten dari prasasti ini. Ini adalah sebuah undang-undang, yang memerintahkan para penguasa untuk selalu mengingat Allah. Raja di wilayah itu disebutkan mempunyai peranan penting dalam menjadi pilar dalam menegakkan agama Islam. Frasa ‘Rasul Allah’ juga beberapa kali disebutkan, dengan ada yang jelas konteksnya (seperti dalam hal memberi shalawat kepada Rasulullah) serta ada juga yang kalimatnya tidak lengkap (barangkali yang dimaksud di sini ialah agar umat Islam meneladani kehidupan Rasulullah).

Pengaruh Islam di prasasti di Terengganu itu menandai masuknya Islam di Terengganu yang masih berada di bawah kekuasaan Majapahit yang bercorak Hindu-Buddha. Artinya, sementara pengaruh Hindu-Buddha masih eksis, kekuatannya perlahan-lahan berkurang dan mulai tergantikan, khususnya dalam hal bahasa, dari pengaruh bahasa Sanskerta ke bahasa Arab, dan dalam hal aksara, dari aksara Pallawa ke aksara Arab.

Penggunaan aksara Arab sebagai sebuah saluran ekspresi keagamaan dan intelektual di kawasan Asia Tenggara mendapat legitimasi yang lebih kuat seiring dengan memudarnya pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan menguatnya Islam, tidak hanya dalam bentuk bertambahnya penganutnya, tetapi juga dalam bentuk institusionalisasi Islam. Pada 1267, di ujung barat Pulau Sumatera Merah Silu mendirikan Kerajaan Samudera Pasai. Ia kemudian memeluk agama Islam, dan kemudian dikenal sebagai sultan Muslim pertama di Nusantara, dengan gelarnya, Sultan Malik al-Saleh. Pada abad 13 dan 14, Samudera Pasai adalah sebuah kerajaan yang ekonominya digerakkan oleh perdagangan internasional, yang didatangi oleh para pelaut dan pedagang dari berbagai sisi dunia, seperti Arab, Persia, India, Siam dan Cina.

Peran penting Samudera Pasai tidak hanya dalam hal aktivitas perdagangan lintasnegeri. Satu kontribusi penting lain dari kerajaan ini ialah perannya sebagai penggerak Islamisasi dan pendorong kemajuan inetelektual di beberapa bagian di Nusantara, khususnya di Sumatera dan di Semenanjung Malaya, dengan aksara Arab sebagai mediumnya.

Sebagaimana dikemukakan oleh Khairudin Aljunied dalam bukunya, Islam in Malaysia; An Entwined History, pada abad 14, Pasai dikenal di Semenanjung Malaya sebagai pusat lingkaran-lingkaran studi keagamaan Islam (halaqah). Aktivitas halaqah itu dipusatkan di masjid-masjid seantero Pasai. Meski berbasis di Pasai, kegiatan halaqah diisi oleh ulama dan inetelektual Muslim dari berbagai belahan dunia, mulai dari Persia, Arab dan India serta dari Pasai sendiri. Di sini para calon ulama dididik sebelum kemudian dikirimkan ke berbagai kawasan di dunia Melayu untuk mendakwahkan Islam.

Yang tak kalah pentingnya, aktifnya kehidupan keagamaan dan intelektual Islam di Pasai ini tak hanya membawa pengaruh Islam ke seberang Selat Malaka, melainkan juga membawa aksara Arab ke sana. Aksara Arab ditransmisikan oleh para sarjana asal Pasai (yang didukung pula oleh raja-raja Pasai) kepada orang Melayu di Semenanjung Malaya. Aksara Arab pun dipakai di lingkaran keagamaan dan intelektual di Semenanjung, perlahan-lahan menggantikan aksara Pallawa yang lazim di sana. Penggunaan aksara Arab yang mulanya hanya untuk mengekspresikan ungkapan yang berkaitan dengan urusan keagamaan, di masa kemudian masuk pula ke bidang-bidang lain, terutama sekali karya sastra.

Pengaruh aksara Arab (yang telah dikombinasikan dengan bahasa Melayu) semakin kuat di Semenanjung Malaya di abad-abad selanjutnya. Pada abad 17 dan 18 menjadi saksi bagaimana para intelektual Melayu, yang terinspirasi dari penggunaan aksara Arab oleh para sarjana di Pasai dan Perlak, menggunakan aksara Arab dalam karya-karya mereka.

Seiring dengan kehadiran kolonialisme Inggris di Tanah Melayu, yang memperkenalkan penggunaan aksara Latin lewat lembaga-lembaga pendidikan formal yang didirikannya, penggunaan aksara Arab mendapat tantangan serius di Malaysia. Sebagian intelektual Malayu mendukung gerakan untuk mengubah penggunaan aksara Arab menjadi aksara Latin ini. Salah satu alasan pendorong romanisasi ini ialah keinginan untuk memajukan Malaysia, dengan melihat aksara Latin yang di era kolonial itu lazim dipakai di negara-negara Barat, sebagai salah satu pintunya.

Kendati begitu, aksara Arab tetap memainkan peranan tertentu di Malaysia setidaknya di pertengahan abad ke-20. Bukti terpentingnya adalah teks proklamasi kemerdekaan Malaysia yang dibacakan oleh Tunku Abdul Rahman di Kuala Lumpur pada 31 Agustus 1957. Teks itu, yang di Malaysia dikenal sebagai dokumen pemasyhuran kemerdekaan 1957, ditulis dalam dua bahasa, yakni Melayu dan Inggris. Sementara naskah berbahasa Inggris memakai aksara Latin, naskah berbahasa Melayu menggunakan aksara Arab (Jawi).

Di Indonesia sendiri, aksara Jawi memainkan peranan penting dalam ekspresi keagamaan dan intelektual di Sumatera dan Jawa. Sementara penggunaan aksara Arab dalam dunia keagamaan dan intelektual di Sumatera salah satunya dipengaruhi oleh Pasai, di Jawa pengaruh itu datang dari jaringan ulama yang mempertemukan ulama dari Jawa dengan koleganya di dunia Arab. Para ulama asal Jawa yang berada di Mekkah melihat aksara Arab sebagai saluran untuk penyebaran agama Islam dalam bahasa lokal. Maka, oleh para ulama Jawa ini, yang kemudian pulang dan mengajar di kampung halamannya, dipakailah aksara Arab untuk menjelaskan ajaran agama Islam dalam bahasa Jawa, Sunda dan Madura, sebuah kombinasi yang dikenal sebagai Arab Pegon.

Selain di kalangan pesantren, aksara Arab juga dipakai di kalangan istana dan bangsawan Jawa. Salah satu contoh pentingnya ialah salinan Babad Diponegoro, yang menceritakan kehidupan Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa (1825-1830), salah satu perang paling berdarah dalam sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Babad sepanjang 1.151 halaman itu ditulis antara tahun 1831-1832 di Manado. Menurut biografer Diponegoro, Peter Carey, dalam bukunya, Sisi Lain Diponegoro, isi babad itu kemungkinan didiktekan oleh Diponegoro sendiri kepada seorang juru tulis. Formatnya adalah tembang macapat, dengan salinannya yang terorisinal ada dalam teks berhuruf pegon. Menurut Carey, huruf pegon ini adalah sebuah sistem penulisan yang pada masa hidup Pangeran Diponegoro di Jawa lazim dipakai di sana, terutama di kalangan ulama yang taat.

Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam

Sumber: Majalah SM Edisi 24 Tahun 2020

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement