Selasa 15 Mar 2022 20:59 WIB

Pengamat: Kenaikan Tarif PPN Diperlukan untuk Konsolidasi Fiskal

Pemerintah tidak memiliki opsi untuk menunda kenaikan tarif PPN

Warga memindai kode batang untuk pembayaran non tunai di salah satu los sembako di Pasar Mayestik, Kebayoran Baru, Jakarta, Selasa (11/5/2021). Pemerintah akan menaikkan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen.
Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra
Warga memindai kode batang untuk pembayaran non tunai di salah satu los sembako di Pasar Mayestik, Kebayoran Baru, Jakarta, Selasa (11/5/2021). Pemerintah akan menaikkan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen diperlukan untuk konsolidasi fiskal dengan mengembalikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke bawah 3 persen. Penurunan defisit dilakukan pada 2023.

"Kenaikan tarif PPN di bulan April merupakan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Lebih lanjut, pemerintah perlu mengonsolidasikan APBN untuk memenuhi amanat UU Nomor 2 Tahun 2020 yakni defisit anggaran di bawah 3 persen dari PDB di tahun 2023," kata Fajry dalam keterangan resmi, Selasa (15/3/2022).

Baca Juga

Karena itu menurutnya, pemerintah tidak memiliki opsi untuk menunda kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022. "Diperlukan sebuah jalan tengah yakni pemerintah tetap menaikkan tarif PPN namun memberikan kompensasi kepada masyarakat," imbuhnya.

Kompensasi tersebut dapat berupa pemberian fasilitas Pajak DTP (Ditanggung Pemerintah) secara selektif bagi objek tertentu contoh gula dan atau minyak goreng, serta pemberian bantuan sosial langsung dalam jangka waktu tertentu ke kelompok yang paling rawan terdampak atau kelompok berpendapatan rendah.

"Di beberapa negara, mekanisme reduced rate digunakan untuk mengantisipasi kenaikan harga, seperti di Amerika Serikat, Belgia, Italia, Spanyol, Turki, Vietnam, dan Brazil yangmenggunakan mekanisme pengurangan tarif PPN bagi komoditas tertentu seperti listrik dan BBM," katanya.

Meski skema reduced rate gagal masuk ke dalam UU HPP, pemerintah dapat menggunakan skema fasilitas PPN DTP. Dengan skema ini, barang yang mendapat fasilitas tetap terutang PPN, tapi PPN terutang tersebut akan dibayar pemerintah dengan pagu anggaran.

"Namun pemerintah harus memastikan bahwa pemberian fasilitas PPN DTP benar-benar dinikmati oleh konsumen (masyarakat)," katanya.

Fajry menilai bahwa kenaikan tarif PPN tidak serta merta membebani masyarakat kecil karena sebagian besar konsumsi kelompok itu bukan merupakan barang objek PPN. Artinya, berapapun kenaikan tarif PPN tidak akan membebani konsumen secara langsung.

"Beberapa kebutuhan dasar masyarakat berpendapatan rendah lainnya seperti jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan listrik sampai 6.600 VA masih mendapatkan fasilitas PPN. Artinya, kenaikan tarif PPN terhadap masyarakat pendapatan rendah secara langsung akan terbatas," kata Fajry.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement