Selasa 15 Mar 2022 15:05 WIB

Kebocoran Gas Dieng, Ahli Geologi Unsoed: Mitigasi Masif Diperlukan

Setiap lapangan panas bumi memiliki karakter atau keunikan tersendiri.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Yusuf Assidiq
Garis polisi terpasang di lokasi kecelakaan kerja di PAD 28 PT Geodipa Energi Desa Pawuhan, kawasan dataran tinggi Dieng, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah Ahad (13/3/2022). Kecelakaan kerja di PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) Dieng tersebut menyebabkan satu orang meninggal dan delapan orang dirawat di rumah sakit diduga terkena gas beracun H2S yang terkonsentrasi di alat pompa bor.
Foto: Antara/Anis Efizudin
Garis polisi terpasang di lokasi kecelakaan kerja di PAD 28 PT Geodipa Energi Desa Pawuhan, kawasan dataran tinggi Dieng, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah Ahad (13/3/2022). Kecelakaan kerja di PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) Dieng tersebut menyebabkan satu orang meninggal dan delapan orang dirawat di rumah sakit diduga terkena gas beracun H2S yang terkonsentrasi di alat pompa bor.

REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Insiden kecelakaan kerja kebocoran gas terjadi di sumur pengeboran pada PLTP Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Sabtu (12/3/2022) sore. Kecelakaan tersebut menimbulkan satu korban jiwa dan beberapa yang harus dilarikan ke rumah sakit. Diduga mereka telah menghirup gas beracun yang keluar dari sumur panas bumi.

Ahli geologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Sachrul Iswahyudi menjelaskan, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) adalah tenaga listrik yang dihasilkan dari gerak turbin yang digerakkan oleh panas bumi. Pada saat kejadian relief valve terbuka secara otomatis di bawah standar tekanan yang seharusnya, sehingga mengakibatkan kebocoran.

"Kondisi yang terjadi di banyak lapangan panas bumi memang demikian, yaitu banyak mengandung gas-gas yang bersifat racun jika melebihi ambang batas yang bisa ditoleransi tubuh manusia, seperti gas CO CO2, H2S, SO2 dan lain lain," ujar dosen Teknik Geologi Unsoed ini, Selasa (15/3/22).

Ia memaparkan, konsentrasi gas-gas beracun yang tinggi di Dieng mengingatkan akan 'Tragedi Sinila' pada 1979 yang merenggut 149 korban jiwa akibat terpapar gas beracun melebihi ambang. Saat tekanan menurun, salah satunya misalnya saat instalasi sumur panas bumi terbuka, maka gas-gas akan ikut naik ke atas mencapai permukaan.

 

Menurut Sachrul, kecelakaan ini mungkin tidak hanya menimbulkan kerugian material, tapi bisa juga immaterial berupa kekhawatiran akan kecelakaan serupa yang akan terjadi di masa datang yang dapat menjangkau masyarakat setempat.

Pihak perusahaan, dalam hal ini Geodipa, telah mengeluarkan keterangan yang menyebutkan bahwa kecelakaan tersebut terkendali dan tidak menimbulkan kerugian lebih lanjut. Aparat keamanan juga masih terus melakukan investigasi lanjutan mengenai kecelakaan ini.

Sachrul menambahkan, keluaran gas-gas beracun tidak saja terjadi pada sumur-sumur panas bumi, tapi juga bisa terjadi di kawah-kawah yang banyak terdapat di Dieng. Berkaca pada kejadian itu, lanjut Sachrul, upaya mitigasi terus-menerus dan lebih masif yang lebih luas di lokasi Dieng yang bertujuan untuk mengurangi kerugian atau risiko atas kemungkinan bencana alam yang akan timbul di masa datang, mutlak diperlukan.

Hal ini mengingat kondisi lokasi Dieng yang sangat dinamis, padat penduduk, sentra produksi pertanian kentang, dan destinasi wisata yang ramai pengunjung. Upaya mitigasi yang akan dilakukan tergantung kondisi lokal setempat yang ada.

Setiap lapangan panas bumi memiliki karakter atau keunikan tersendiri yang berbeda dengan karakter lapangan panas bumi lain. "Keunikan tersebut bukan saja dari sisi teknis tapi juga dari sisi sosial budaya masyarakat setempat. Upaya mitigasi yang dilakukan pada lokasi panas bumi satu dengan yang lain mungkin sama tapi bisa juga berbeda," kata Sachrul.

Upaya mitigasi telah dilakukan maksimal oleh perusahaan Geodipa untuk meminimalisasi risiko bencana di lokasi-lokasi sumur panas bumi. Menurut Sachrul, keberadaan Pos Pengamatan Gunungapi Dieng juga merupakan upaya mitigasi lain yang lebih umum yang ada di lokasi, dengan keberadaan sensor-sensor gas, seismometer, atau detektor lainnya.

Pengaturan waktu aktivitas masyarakat, terutama di daerah-daerah keluaran gas, mungkin perlu juga dilakukan, dengan pertimbangan bahwa gas-gas pada pagi hari konsentrasinya akan lebih tinggi dibanding siang hari. "Karena adanya sinar matahari dan angin pada siang hari akan mendistribusi gas-gas lebih jauh sehingga konsentrasi gas-gas lebih rendah," ujarnya.

Ia menambahkan pola pertanian masyarakat yang sebagian besar berupa tanaman kentang juga perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pola tumpang sari atau perselingan dengan tanaman produksi lain yang lebih besar dan tinggi. Ini bertujuan untuk menghambat laju alir gas jika gas keluar. Hal tersebut pernah diupayakan beberapa tahun yang lalu, melalui upaya perselingan tanaman kentang dan kopi.

Lahan juga tidak dibiarkan gundul, karena gas-gas akan mudah mengalir ke atas jika tidak ada penahan tanaman di permukaan. Di tempat-tempat yang rawan keluaran gas yang tinggi, seperti kawah, juga perlu dipertimbangkan melakukan penanaman tumbuhan penangkal polusi yang telah dikenal selama ini.

"Hal ini tetap perlu dilakukan penelitian terlebih dulu, apakah tanaman-tanaman tersebut efektif untuk menangkal gas-gas beracun, atau ada jenis tanaman lain yang lebih baik untuk lokasi tersebut," kata Sachrul yang saat ini sedang studi lanjut S3 di Teknik Geologi Unpad, Bandung.

Penelitian-penelitian yang dilakukan di lokasi panas bumi juga perlu terus-menerus dan lebih masif dilakukan untuk mendapatkan informasi yang lebih rinci terkait karakter sistem atau lapangan panas bumi. Informasi-informasi tersebut diperlukan untuk pengelolaan lapangan panasbumi yang lebih akurat, termasuk upaya mitigasi bencana untuk masyarakat yang lebih baik.

"Akhirnya, upaya mitigasi perlu melibatkan masyarakat agar program dan strategi yang yang dilakukan mendapat dukungan yang lebih luas," ujar Sachrul.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement