Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Masruhin Bagus

Fenomena Penceramah Dadakan

Agama | Monday, 14 Mar 2022, 14:44 WIB
Fenomena Penceramah Dadakan (image: pixabay.com)

Fenomena pada bulan Ramadan salah satunya adalah munculnya “penceramah dadakan” atau “dai dadakan”. Misalnya ceramah menjelang berbuka, kultum shalat terawih, kultum bakda subuh, pengajian shalat dhuha, ceramah bakda sahur, dan lain sebagainya.

Penceramah dadakan atau dai dadakan adalah seseorang yang mendadak memberikan ceramah hanya ketika bulan Ramadan atau ceramah tergantung momentum saja. Jarang ceramah atau jarang diberikan ‘panggung’, tiba-tiba muncul kemudian menghilang.

Menurut saya fenomena ini kurang baik. Ada semangat berbagi ilmu dan menebarkan kebaikan. Saling nasihat menasihati dalam kebenaran. Dan semangat belajar (ngaji) hanya ketika ada momen saja. Fenomena ini akan menyebabkan ketidaktuntasan seseorang dalam memahami persoalan.

Penceramah harus dalam Ilmunya dan baik akhlaknya

Pertanyaannya kemudian, apakah fenomena penceramah-penceramah dadakan ada yang salah? Menjawab pertanyaan ini tentu jawabannya mengarah kepada subyektivitas. Tergantung siapa yang memberikan ceramah. Tapi memang subyektif. Karena kita sedang membahas penceramah (pelaku). Tentang wawasan dan ilmu penceramah, kedalaman ilmunya, keterampilannya dalam menyampaikan, dan pemahamannya dalam strategi dakwah (ceramah).

Kedalaman ilmu seseorang akan membawanya semakin bijak dalam menghadapi dan menyikapi persoalan. Apalagi jika seseorang tersebut tidak memiliki tendensi apapun atau kepentingan apapun selain menunjukkan kebenaran dan mengurai persoalan. Semua akan mudah menerima tanpa saling membenci dan menghujat.

Ya, keluasan ilmu dan kemuliaan akhlak inilah yang penting. Seharusnya dua hal ini berbanding lurus. Semakin tinggi ilmu seseorang seharusnya semakin baik akhlaknya. Semakin rendah hati dan semakin bijaksana dalam menghadapi persoalan. Seperti ilmu padi, semakin tua dan berisi, semakin merunduk. Rendah hati, tawadhu’, tidak ujub dan sombong. Jika padi masih belum merunduk berarti padi tersebut masih ‘kopong’ alias belum banyak isinya.

Apakah harus menunggu luas dan dalam ilmunya, seseorang baru boleh berceramah? Tentu tidak demikian yang kita inginkan. Tetapi lebih kepada sikap berhati-hati dalam menyampaikan sesuatu. Meskipun ada hadits “Sampaikan dariku walaupun satu ayat ”, seorang dai harus memahami bahwa masih ada ayat lain atau ada ayat kelanjutannya, yang bisa jadi belum dipelajari atau diketahui. Jadi, seorang penceramah harus utuh memahami ayat agar tidak serampangan dalam menyampaikan.

Mengutamakan persatuan di atas perbedaan

Dengan keluasan ilmu, seseorang akan menjadi bijaksana dalam melihat sebuah perbedaan. Lebih-lebih perbedaan tersebut bukan masalah akidah. Maka mengutamakan persatuan dan persaudaraan jauh lebih baik daripada menonjolkan persoalan perbedaan. Selama mereka masih menjalankan kewajiban sebagaimana muslim yang lain maka kewajiban bagi kita menjadikannya sebagai saudara. Saudara dalam satu akidah.

Kewajiban menjaga persatuan ini adalah kewajiban semua muslim. Khususnya kepada para penceramah. Mereka harus menjadi duta persatuan bagi umat. Selalu mengkampanyekan ukhuwah kepada umat, dengan mengesampingkan kepentingan pribadi atau golongan. Menyadari bahwa ketika seorang penceramah berdiri di atas mimbar ia adalah milik semua golongan.

Mengapa demikian, karena pada era digital, era sosial media hampir semua aspek kehidupan tanpa sekat jarak dan waktu. Penceramah hampir tidak mungkin bisa pilih-pilih audien, semua orang bisa melihat, mendengar, dan meneruskan. Konten ceramah yang rahasia bisa menjadi tidak rahasia, yang khusus bisa menjadi umum. Semua tanpa batas. Maka seorang penceramah harus berhati-hati.

Seorang penceramah dengan keluasan ilmunya akan menjadi oase di tengah gurun sahara. Nasihatnya dinanti dan akhlaknya diteladani. Dai yang arif dan bijaksana akan mudah diterima dimana saja. Dicintai semua umat dan kehadirannya menjadi rahmat. Inilah yang kita harapkan. Bukan justeru sebaliknya, nasihatnya penuh caci maki, prilakunya penuh provokasi, dan umat diajak membenci. Golongan yang berbeda dengannya dianggap salah. Saya kadang miris, karena amalan yang tidak sama, bertetangga tapi tidak bertegur sapa. Merasa kelompoknya paling benar, kelompok yang lain “Fin Naar”. Naudzubillah.

Jadi, fenomena penceramah dadakan atau daí dadakan itu tidak ada salahnya. Selagi penceramah atau dai tersebut menyerukan kebaikan dengan kesantunan. Nasihatnya membawa kedamaian. Mereka merangkul bukan memukul, mengajak bukan menginjak, menasihati bukan menyakiti, menanamkan bibit-bibit perdamaian bukan bibit-bibit permusuhan dan pertikaian, mencari titik persamaan bukan sibuk mencari perbedaan, dan lebih sering memberi uswah hasanah daripada sering berkata salah dan bid’ah. Lebih dalam menguatkan akidah dan ‘luwes’ dalam bermuamalah dengan mengedepankan akhlaqul karimah daripada persoalan khilafiyah. Wallahu a’lam.

Penulis : Masruhin bagus (penjaga jejakruang.com)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image