Sabtu 12 Mar 2022 12:51 WIB

Parental Burnout Picu Kekerasan Seksual terhadap Anak

Orang tua perlu meningkatkan ketrampilan mengelola emosi atasi parental burnout

Anak (ilustrasi)
Foto: www.pixabay.com
Anak (ilustrasi)

Oleh : Fransisca Kumalasari, M. Psi., Psikolog

REPUBLIKA.CO.ID, Ironis, jumlah kasus kekerasan pada anak meningkat selama masa pandemi, justru berasal dari dalam lingkungan keluarga.  Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatat, laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.

Berdasarkan Simfoni PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) sepanjang 2019-2021, terjadi peningkatan pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan maupun anak. Angka laporan kasus kekerasan terhadap anak tercatat meningkat dari 11.057 pada 2019, 11.278 kasus pada 2020, dan menjadi 14.517 kasus pada 2021. Jumlah korban kekerasan terhadap anak juga meningkat dari 12.285 pada 2019, 12.425 pada 2020, dan menjadi 15.972 pada 2021.

Bila diperinci, laporan kekerasan terhadap anak terdiri dari kasus kekerasan seksual (45 persen), kekerasan psikis (19 persen), dan kekerasan fisik (18 persen). Berdasarkan tempat kejadian, baik kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak sebagian besar terjadi di rumah tangga. Salah satu penyebab munculnya kekerasan pada anak yang dilakukan oleh orangtua adalah parental burnout. Sebagai orangtua tentu ingin memberikan yang terbaik bagi anak.

Orangtua memiliki harapan besar terhadap anak dan pengasuhan yang diberikan, namun sumber yang dimiliki baik secara finansial, dukungan sosial, kemampuan diri kurang berisiko meningkatkan adanya parental burnout.

Parental burnout yang terjadi di masa pandemi terjadi pada orangtua tanpa memandang status sosial ekonomi ataupun jenis kelamin orangtua. Semua orangtua di seluruh dunia mengalami kondisi karantina yang menyebabkan mereka harus bekerja di rumah dan anak-anak harus belajar di rumah. Pembelajaran anak yang sebelumnya diberikan ke pihak sekolah sekarang dibebankan ke orangtua. Beban ganda mengasuh anak, bekerja dan mengajari anak menyebabkan parental burnout semakin bertambah.

Parental burnout paling tinggi terjadi pada orangtua yang memiliki anak dibawah usia 12 tahun daripada orangtua yang memiliki anak usia diatas 12 tahun. Orangtua yang mengalami parental burnout mengalami kelelahan secara fisik dan mental, adanya keluhan fisik yang mengakibatkan kualitas tidur berkurang, menjaga jarak emosi pada anaknya dan merasa tidak berkompeten menjalankan peran sebagai orangtua. Menurut data yang diperoleh dari sebuah survei dengan sampel 400 ibu Indonesia melaporkan 84% ibu merasa lelah secara mental dan fisik selama pandemi, 87% ibu merasa tidak percaya diri dan merasa gagal dalam mengasuh anak.

Kasus kekerasan pada anak disebabkan karena fenomena parental burnout pernah muncul di media ketika orangtua yang tidak sabar mengajari anak sehingga memukul anak sampai meninggal. Beban pengasuhan yang terlampau tinggi selama masa pandemi tidak diiringi dengan keterampilan mengelola emosi orangtua. Kelelahan karena beban pengasuhan bertambah membuat orangtua sensitif terhadap perilaku anak sehingga berpotensi memunculkan tindak kekerasan pada anak (child abuse).

Keluarga yang sejatinya sebagai tempat pendidikan yang utama dan pertama bagi anak, justru membuat anak mengalami perilaku yang tidak menyenangkan bahkan mengancam kesejahteraan anak yang dapat membawa dampak jangka panjang bagi anak. Berbagai penelitian membuktikan bahwa anak yang menjadi korban kekerasan, cenderung menjadi pelaku kekerasan pada masa dewasanya. Guna memutus rantai kekerasan pada anak, perlu kesadaran akan pentingnya keterampilan mengelola emosi bagi orangtua.

Lalu apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keterampilan mengelola emosi orangtua?

Misalnya ada kasus saat mendampingi anak mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ), anak tampak pasif atau sering terallih perhatiannya. Perilaku anak sederhana seperti ini membuat orangtua mudah terpicu amarah kemudian membentak, mengancam, memarahi, atau bahkan memukul anak. Berikut lima hal yang dapat dilakukan orangtua.

Pertama, ambil jeda dengan cara yang sangat praktis, sederhana, dan konkret. Menjauh dari anak saat merasakan emosi marah yang besar, biasanya terasa napas lebih cepat dan jantung berdebar lebih kencang. Tarik napas dalam kemudian hembuskan perlahan, lakukan berulangkali hingga merasa lebih santai.

Setelah itu minum air, sesap secara perlahan untuk membantu orangtua mengalihkan perhatian dengan focus pada sensasi yang muncul dalam mulut. Juga bisa dengan cara menghitung mundur dari angka 10 hingga 1. Hal ini bertujuan untuk mengalihkan fokus dan mengaktifkan pusat logika pada otak sehingga meredakan emosi yang muncul.

Kedua, orangtua perlu menyadari emosi atau perasaan dan pemikiran yang muncul. Tanyakan pada diri sendiri, sebenarnya apa yang membuat hal tersebut memantik emosi marah orangtua. Bisa jadi karena orangtua memiliki harapan yang terlalu tinggi pada anak, adanya pemikiran bahwa sekolah itu harus duduk diam mendengarkan guru (seperti pengalaman orangtua ketika sekolah dulu). Jadi ketika PJJ anak jalan-jalan mengambil minum atau snack, dipandang sebagai sesuatu yang salah. Padahal kita juga perlu memerhatikan rentang perhatian sesuai usia anak. Wajar jika anak PAUD seringkali membutuhkan istirahat dari menatap layar gawai selama PJJ berlangsung. Orangtua perlu menerima bahwa pembelajaran daring seperti saat ini tidak pernah dirasakan pada saat sekolah dahulu, sehingga orangtua tidak bisa memakai pola pikir yang sama.

 

Ketiga, orangtua boleh dan berhak merasakan emosi. Apapun bentuk emosi itu valid dan boleh dialami oleh setiap manusia. Wajar ada saat merasa sedih, marah, bangga, dan bahagia. Persoalannya adalah bagaimana cara mengungkapkan emosi dalam bentuk tindakan yang lebih dapat diterima oleh lingkungan sosial. Misalnya merasa marah atau jengkel pada anak, tidak semerta-merta hanya bisa diekspresikan dalam tindakan memarahi atau memukul anak. Orangtua dapat menyalurkan energi dari perasaan marah itu ke dalam bentuk tindakan lain yang lebih positif, seperti berolah raga, membuat karya seni (menggambar, melukis, membuat patung), mendengarkan lagu, menulis atau membuat jurnal harian (journaling) yang memang sudah terbukti efektif  sebagai sarana untuk melampiaskan emosi atau sering disebut sebagai katarsis. 

 

Keempat, orangtua dapat melibatkan bantuan orang lain; seperti membagikan cerita pada orang lain yang dapat dipercaya sebagai sarana untuk melepaskan ketegangan emosi yang dialami selama pengasuhan. Orangtua juga dapat meminta bantuan orang lain dalam pengasuhan jika memang dirasa perlu, seperti keluarga besar, menitipkan anak di Taman Penitipan Anak, atau berbagi tugas dengan asisten rumah tangga. Yang penting untuk diingat, jika ada emosi negatif yang dirasakan selama dua minggu berturut-turut tak kunjung berkurang meskipun telah coba melakukan berbagai hal untuk katarsis, ada baiknya menemui tenaga kesehatan mental profesional seperti psikolog atau psikiater.

Kelima, bergabung dalam komunitas. Mengasuh anak memang bukan hal yang mudah dilakukan, sebenarnya tidak ada orangtua yang sanggup mengalami kesulitan dalam pengasuhan sendirian. Seperti kata pepatah, “dibutuhkan seluruh desa untuk mengasuh anak”, orangtua dapat bergabung dalam komunitas pengasuhan yang saat ini sangat banyak dan bisa diakses dengan mudah melalui media sosial seperti instagram, facebook, whatsapp grup, dan telegram. Dalam komunitas tersebut biasanya dapat saling bertukar pikiran dan tips pengasuhan, serta mendapatkan dukungan emosional dari sesama orangtua yang mungkin mengalami hal serupa.

Orangtua perlu menyadari pentingnya memiliki dan meningkatkan keterampilan mengelola emosi agar tidak sampai berujung pada tindak kekerasan pada anak, baik secara fisik, verbal, psikis, maupun seksual. Bisa dibayangkan jika seluruh orangtua Indonesia berhasil meregulasi emosinya dengan baik, maka anak Indonesia dapat tumbuh dan berkembang bahagia. Anak mampu menikmati hidup bebas dari ancaman kekerasan dalam rumah tangga.

 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement