Jumat 11 Mar 2022 21:57 WIB

Kasus DBD di Bandung Pada 2022 Melonjak Dibanding 2021

Dinkes Kota Bandung mencatat ada kasus DBD tahun ini melonjak dibandingkan tahun lalu

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Bilal Ramadhan
Anggota Karang Taruna melakukan pengasapan atau fogging untuk mencegah penyebaran kasus demam berdarah dengue (DBD) di Bandung, Jawa Barat. Dinkes Kota Bandung mencatat ada kenaikan melonjak kasus DBD tahun ini dibanding tahun lalu.
Foto: ANTARA/Raisan Al Farisi
Anggota Karang Taruna melakukan pengasapan atau fogging untuk mencegah penyebaran kasus demam berdarah dengue (DBD) di Bandung, Jawa Barat. Dinkes Kota Bandung mencatat ada kenaikan melonjak kasus DBD tahun ini dibanding tahun lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Kasus Demam Berdarah (DBD) di Kota Bandung telah menelan dua korban jiwa, keduanya merupakan balita berjenis kelamin laki-laki berusia tiga dan empat tahun.

Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kota Bandung dr. Ira Dewi Jani mengatakan, selama 2022, terlihat adanya peningkatan kasus jika dibandingkan pada periode yang sama di 2021.

Baca Juga

“Januari 2022 ada 598 kasus dan Februari ada 349 kasus. Jumlah ini meningkat dibanding periode yang sama di 2021, dimana Januari 2021 hanya 177 kasus dan Februari 152 kasus,” kata dr Ira saat dihubungi Republika, Jumat (11/3/2022).

Namun dr Ira menegaskan bahwa jumlah ini, masih terbilang menurun jika dirujuk pada grafik minimal maksimal (periode lima tahunan) kasus DBD Kota Bandung tahun 2022.

Berdasarkan grafik, jumlah kasus di 2022 masih berada cukup jauh dibanding jumlah kasus maksimal pada di periode yang sama, Januari hingga Februari, yang mencapai hampir 900 kasus.

Ira mengatakan, kasus DBD di Kota Bandung memang terbilang memiliki fluktuasi yang cukup dinamis, merujuk pada status Kota Bandung sebagai wilayah endemis dan diperburuk dengan kondisi cuaca.

Dia menjelaskan, kasus DBD, sejatinya disebabkan terpenuhinya tiga aspek, yaitu virus dengue, nyamuk aedes agypti sebagai vektor virus, dan manusia sebagai tempat perkembangan virus.

“Jadi kalau misalnya ada virus tapi tidak ada nyamuknya (vektor) maka tidak akan terjadi kasus DBD karena penularannya harus melalui gigitan nyamuk Aedes Agypti, begitu juga sebaliknya,” jelas Ira.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung dr. Ahyani Rangsanagara meminta agar program jumantik (juru pemantau jentik) dapat dilaksanakan dengan baik dan serentak. Hal ini merujuk pada daya jarak terbang nyamuk yang dapat mencapai 100 meter.

“Kalau hanya rumah kita saja yang bersih, rumah tetangga tidak, kan tidak akan efektif,” ujarnya.

Dia juga mengingatkan untuk selalu melakukan tindakan antisipatif jentik nyamuk dengan 3M, menguras bak mandi, menutup tempat penampungan air dan mengubur baarng bekas. Begitu juga jika terjadi gejala panas atau demam, agar segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekat.

“Intinya jangan panik tapi tetap waspada,” sarannya. 

Menurutnya, jika penanganan DBD bisa dilakukan sedini mungkin, maka kemungkinan jatuhnya korban dapat lebih mudah dihindari. Penambahan kasus DBD sendiri, kata Ahyani, lebih banyak didukung oleh cuaca penghujan, yang menjadi waktu berkembangbiak terbaik bagi nyamuk.

“jadi kita hanya bisa antisipasi dengan menahan tempat-tempat perkembangbiakan mereka (nyamuk),” kata dia.

Meski di tengah lonjakan kasus Covid-19, Ahyani mengingatkan masyarakat untuk tetap memperhatikan potensi terjadinya kasus DBD, terlebih di masa penghujan. Dia juga meminta juru pemantau jentik (jumantik) untuk melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) secara optimal.

Data Dinkes Kota Bandung menunjukkan total kasus DBD Kota Bandung pada 2021 mencapai 3.743 dengan jumlah penderita yang meninggal sebanyak 13 orang.

Pada November 2021, kasus DBD mencapai 475 dengan empat orang di antaranya meninggal dunia. Sedangkan pada Desember 2021, kasus DBD mencapai 695 kasus dengan penderita yang meninggal 2 orang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement