Jumat 11 Mar 2022 20:21 WIB

Alasan Ahli Ingatkan Pemerintah tak Buru-Buru dan Gegabah Tetapkan Status Endemi

Penetapan endemi disarankan secara bertahap dan tidak langsung berskala nasional.

Tenaga kesehatan menyiapkan vaksin Covid-19 untuk disuntikan kepada warga di kawasan Tebet, Jakarta, Rabu (9/3/2022). WHO menargetkan Indonesia untuk mencapai angka vaksinasi sebesar 70 persen di seluruh provinsi pada akhir bulan Mei sebagai langkah persiapan transisi dari pandemi menuju endemi. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Tenaga kesehatan menyiapkan vaksin Covid-19 untuk disuntikan kepada warga di kawasan Tebet, Jakarta, Rabu (9/3/2022). WHO menargetkan Indonesia untuk mencapai angka vaksinasi sebesar 70 persen di seluruh provinsi pada akhir bulan Mei sebagai langkah persiapan transisi dari pandemi menuju endemi. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Dessy Suciati Saputri, Dian Fath Risalah   

Indikator suatu wabah memasuki masa endemi berdasarkan epidemiologi adalah ketika kasus terus melandai secara stabil selama periode satu kali masa inkubasi. Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Tri Yuni Miko Wahyoho mengingatkan hal ini kepada pemerintah sebelum menetapkan status endemi di Tanah Air.

Baca Juga

"Seminimal mungkin kemudian melandai dan kalau itu bertahan dalam waktu sepuluh hari minimal, itu berarti wabah sudah menjadi endemi," kata Miko, Jumat (11/3/2022).

Endemi adalah kondisi di mana suatu penyakit menginfeksi suatu daerah atau atau populasi tertentu. Penyakit tersebut dapat selalu berada di daerah itu dengan frekuensi kasus yang rendah.

Dalam kaitan pandemi Covid-19 di Indonesia, Miko memberi contoh jika kasus sudah berada di bawah 1.000 dan tren melandai terus bertahan lebih dari 10 hari atau satu kali masa inkubasi, maka dapat dikatakan masuk dalam endemi. Jika terjadi perubahan status suatu wabah, katanya, maka dapat dideklarasikan tidak hanya oleh pemerintah pusat, tapi juga di tingkat kabupaten/kota karena perbedaan kondisi pandemi di masing-masing daerah.

"Deklarasi itu penting untuk masyarakat. Kenapa harus dideklarasikan karena masyarakat harus tahu," ujarnya.

Miko juga mengingatkan, pemerintah sebaiknya tidak langsung melonggarkan seluruh protokol kesehatan tapi dilakukan bertahap dan dilakukan terlebih dahulu di suatu daerah. Pelonggaran bertahap ini disebutnya sebagai fase praendemi.

"Seharusnya benar-benar disiapkan supaya endemi, itu pertama, pada praendemi. Supaya endemi bagaimana baiknya, pembebasan sosialnya harus dibatasi dulu," kata Miko.

Pelonggaran pembatasan dapat dilakukan secara perlahan-lahan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun, dilakukan secara bertahap sebagai bagian dari prinsip kehati-hatian.

Menurutnya, pelonggaran protokol kesehatan dapat dimulai dengan suatu daerah tertentu dan tidak langsung diberlakukan dalam wilayah yang luas. Protokol praendemi tersebut dapat dilakukan terlebih dahulu di suatu provinsi atau kabupaten/kota dan tidak langsung terimplementasikan ke seluruh Indonesia. Hal itu karena perbedaan kondisi pandemi antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Anggota Tim Pakar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) untuk Percepatan Penanganan Covid-19 Prof Dr dr Syamsul Arifin MPd juga mengingatkan pemerintah, bahwa saat ini secara epidemiologis belum semua indikator terpenuhi agar Indonesia menuju endemi.

"Diharapkan Pemerintah jangan gegabah dan harus memprioritaskan pendekatan epidemiologis," kata Syamsul, di Banjarmasin, Rabu (9/3022) lalu.

Dia menjelaskan, penetapan status pandemi menjadi endemi masih diperlukan waktu transisi untuk memonitor perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia. Hal ini penting menjadi pertimbangan agar dampaknya nanti tidak merugikan semua rakyat.

Secara epidemiologis, kata Syamsul, Covid-19 akan berubah menjadi endemi tatkala tingkat penularan terkendali dan telah terbentuk kekebalan kelompok (herd immunity) di tengah masyarakat yang bisa terwujud melalui program vaksinasi. Menurut WHO, penularan disebut terkendali di antaranya jika penurunan insidensi kasus konfirmasi dan probable yang berkelanjutan minimal 50 persen selama 3 minggu terakhir.

Dia menyebutkan, jika pada 8 Maret 2022 ada 30.148 kasus, sementara data kasus Covid pada 3 minggu sebelum (13 Februari 2022) 44.526 kasus menunjukkan bahwa penurunan kasus konfirmasi baru 32,29 persen. Kemudian positivity rate yaitu perbandingan antara jumlah kasus positif dengan jumlah tes yang dilakukan kurang dari 5 persen minimal selama 2 minggu terakhir.

Menurutnya lagi, jika memperhatikan hari terakhir 8 Maret 2022 sebesar 13,26 persen dan 2 minggu yang lalu (21 Februari 2022) sebesar 14,2 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa dalam 2 minggu terakhir positivity rate belum ada yang berada di bawah 5 persen.

Adapun penurunan jumlah kematian pada kasus terkonfirmasi selama 3 minggu terakhir. Pada 8 Maret 2022 jumlah kematian 401 jiwa, dan pada 13 Februari 2022 jumlah kematian 111 jiwa.

"Data ini menunjukkan bahwa jumlah kematian menurut angka absolut malah meningkat. Meskipun jika kita analisa dari CFR menurun dari 3,02 persen menjadi 2,60 persen," ujar Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran ULM itu.

Sementara penurunan jumlah kasus terkonfirmasi dan probable yang dirawat di rumah sakit dan kasus yang masuk ICU selama minimal 2 minggu terakhir yaitu 8 Maret 2022, jumlahnya 28 persen. "Angka ini memang telah mengalami penurunan dibandingkan 2 minggu sebelumnya yaitu 31 persen. Kondisi baik yang wajib dipertahankan terus dalam upaya menuju endemi," kata Syamsul.

Adapun untuk vaksinasi lengkap pada 8 Maret 2022 tercatat 148.587.718 orang dengan sasaran nasional 208.265.720 jiwa, sehingga cakupan telah mencapai 71,34 persen. "Akan tetapi jika kita hitung dengan jumlah penduduk Indonesia tahun 2022, maka cakupan vaksinasi dosis lengkap baru 54,25 persen," ujarnya lagi.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement