Jumat 11 Mar 2022 19:40 WIB

GIMNI Tegaskan tak Mungkin Minyak Sawit DMO Diselundupkan

Kemendag menerapkan DMO sebesar 20 persen dari volume ekspor minyak sawit.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Warga antre membawa jeriken untuk membeli minyak goreng curah saat operasi minyak goreng CV Sawit Juara di sekitar Pasar Dargo, Semarang, Jawa Tengah, Senin (21/2/2022). Kemendag menerapkan DMO sebesar 20 persen dari volume ekspor minyak sawit.
Foto: Antara/Aji Styawan
Warga antre membawa jeriken untuk membeli minyak goreng curah saat operasi minyak goreng CV Sawit Juara di sekitar Pasar Dargo, Semarang, Jawa Tengah, Senin (21/2/2022). Kemendag menerapkan DMO sebesar 20 persen dari volume ekspor minyak sawit.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menegaskan, dugaan terkait adanya penyelundupan minyak sawit hasil domestic market obligation (DMO) tidak mungkin terjadi. Sistem pengawasan bea cukai juga dinilai sudah sangat ketat sehingga kebocoran minyak DMO untuk pasar dalam negeri pun tak mungkin dapat diekspor secara ilegal.

"Kami yakin tidak ada penyelundupan itu. Itu hanya sinyalemen, tapi dengan sistem Bea Cukai yang demikian ketat tidak mungkin ini terjadi," kata Sahat dalam konferensi pers virtual, Jumat (11/3/2022).

Baca Juga

Sahat mengatakan, para produsen sekaligus eksportir CPO bahkan sempat kebingungan untuk mencari saluran pemasaran sawit demi memenuhi kewajiban DMO.

Pasalnya, mayoritas industri minyak goreng tidak terhubung dengan produsen CPO di level hulu. Hal itu pun sempat berdampak pada rendahnya kinerja ekspor karena eksportir tak akan memperoleh persetujuan ekspor jika belum menjalankan DMO.

"Hanya eksportir-eksportir yang berkaitan dengan pasar domestik (minyak goreng) saja yang bisa jalan lancar," kata dia.

Seperti diketahui, Kementerian Perdagangan (Kemendag) sejak Januari lalu menerapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) sebesar 20 persen dari volume ekspor minyak sawit (CPO) setiap perusahaan.

Adapun, minyak sawit hasil DMO itu dipatok harganya lebih rendah dari harga internasional dengan kebijakan domestic price obligation (DPO) agar harga minyak goreng di level hilir bisa ditekan sesuai harga eceran tertinggi (HET).

Hingga saat ini, tercatat pasokan minyak goreng hasil DMO 20 persen sebanyak 415,7 ribu ton atau lebih dari kebutuhan satu bulan sekitar 327 ribu ton.

Namun, fakta lapangan menunjukkan masyarakat masih cukup sulit mendapatkan minyak goreng. Hal itu menimbulkan kecurigaan dari Kementerian Perdagangan akan potensi kebocoran minyak DMO tersebut. Yakni bocor ke industri nonminyak goreng atau justru diekspor kembali dengan mengikuti harga internasional.

"Kalau kita lihat, ini merembes ke industri yang mereka tidak berhak dapat minyak DMO atau tindakan melawan hukum dengan mengekspor tanpa izin. Tapi, ini bagian yang kita selidiki," kata Lutfi dalam konferensi pers virtual, Rabu (9/3/2022) lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement