Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Arief Nurharyadi

Pemilihan Langsung dan Demokrasi Indonesia

Politik | Friday, 11 Mar 2022, 07:50 WIB

*Pemilihan Langsung dan Demokrasi Indonesia.*

Kata demokrasi (democracy) sendiri sudah ada sejak abad ke-16 dan berasal dari bahasa Prancis Pertengahan dan Latin Pertengahan lama. Konsep demokrasi lahir dari Yunani kuno yang dipraktikkan dalam hidup bernegara antara abad ke IV SM sampai dengan abad ke VI SM. Demokrasi yang dipraktikkan pada waktu itu adalah demokrasi langsung (direct democracy), artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh rakyat atau warga negara.

Suatu pemerintahan demokratis berbeda dengan bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dipegang satu orang, seperti monarki, atau sekelompok kecil, seperti oligarki. Apapun itu, perbedaan-perbedaan yang berasal dari filosofi Yunani ini sekarang tampak ambigu karena beberapa pemerintahan kontemporer mencampur aduk elemen-elemen demokrasi, oligarki, dan monarki. Karl Popper mendefinisikan demokrasi sebagai sesuatu yang berbeda dengan kediktatoran atau tirani, sehingga berfokus pada kesempatan bagi rakyat untuk mengendalikan para pemimpinnya dan menggulingkan mereka tanpa perlu melakukan revolusi.

Ada beberapa jenis demokrasi, tetapi hanya ada dua bentuk dasar. Keduanya menjelaskan cara seluruh rakyat menjalankan keinginannya. Bentuk demokrasi yang pertama adalah demokrasi langsung, yaitu semua warga negara berpartisipasi langsung dan aktif dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Di kebanyakan negara demokrasi modern, seluruh rakyat masih merupakan satu kekuasaan berdaulat namun kekuasaan politiknya dijalankan secara tidak langsung melalui perwakilan; ini disebut demokrasi perwakilan. Konsep demokrasi perwakilan muncul dari ide-ide dan institusi yang berkembang pada Abad Pertengahan Eropa, Era Pencerahan, dan Revolusi Amerika Serikat dan Prancis.

Abraham Lincoln menyatakan Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Demokrasi liberal pertama kali dikemukakan pada Abad Pencerahan oleh penggagas teori kontrak sosial seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau. Semasa Perang Dingin, istilah demokrasi liberal bertolak belakang dengan komunisme ala Republik Rakyat. Pada zaman sekarang demokrasi konstitusional umumnya dibanding-bandingkan dengan demokrasi langsung atau demokrasi partisipasi.

Pemilihan Suara

Demokrasi liberal dipakai untuk menjelaskan sistem politik dan demokrasi barat di Amerika Serikat, Britania Raya, Kanada. Konstitusi yang dipakai dapat berupa republik (Amerika Serikat, India, Prancis) atau monarki konstitusional (Britania Raya, Spanyol). Demokrasi liberal dipakai oleh negara yang menganut sistem presidensial (Amerika Serikat), sistem parlementer (sistem Westminster: Britania Raya dan Negara-Negara Persemakmuran) atau sistem semipresidensial (Prancis).

Pasca tergulingnya Soeharto, sejumlah elemen masyarakat menuntut adanya perubahan (amandemen) UUD 1945. Salah satunya adalah Pasal 7 tentang masa jabatan presiden. Tuntutan ini kemudian ditanggapi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Perubahan Pasal 7 masuk dalam agenda I Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang dibahas pada tahun 1999.

Akhirnya Pasal 7 UUD 1945 berhasil diamanden dari sebelumnya berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.” menjadi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatannya bisa dipilih kembali stau periode.”

Sejak tahun 2004, Indonesia memiliki mekanisme baru dalam pemilihan presiden. Bila sebelumnya presiden ditentukan lewat suara wakil rakyat di DPR/MPR, maka tahun tersebut, RI-1 dan RI-2 ditentukan oleh suara rakyat langsung. Artinya, semua warga Indonesia berhak memilih pemimpinnya. Mereka yang datang dari berbagai kalangan ekonomi, profesi hingga daerah diperhitungkan suaranya.

Bagaimana hasilnya? Dalam Pilpres langsung pertama tersebut, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) menjadi pemenang. Mereka melewati dua tahapan pemilihan, sebelum akhirnya bisa mengalahkan lawan-lawannya.

Ada lima pasangan yang maju kala itu. Mereka adalah: Wiranto-Salahuddin Wahid, Megawati Soekarnoputri-Ahmad Hasyim Muzadi, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dan Hamzah Haz-Agum Gumelar.

Di putaran pertama, SBY-JK unggul dengan 33,58 persen suara atau meraup 36.070.622. Tempat kedua adalah Megawati-Hasyim dengan perolehan suara 28.186.780 atau 26,24 persen. Karena tidak ada pasangan yang meraih suara lebih dari 50 persen pada putaran pertama, dua pasangan teratas kemudian bertarung di putaran kedua. *Hasilnya SBY-JK menang telak dengan selisih cukup jauh yakni: 69.266.350 (60,62%) melawan 44.990.704 (39,38%)*.

Berselang lima tahun kemudian atau tahun 2009, SBY kembali maju sebagai calon presiden. Namun kali ini dia menggandeng pasangan berbeda, Boediono. Mantan wakilnya, Jusuf Kalla, berubah menjadi lawan karena maju bersama Wiranto. Satu lawan lagi yakni pasangan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto.

Meski diikuti oleh tiga pasangan calon, Pilpres 2009 hanya berjalan satu putaran. Sebab, SBY-Boediono meraih suara signifikan dibandingkan dua pasangan lawannya. Kala itu, *SBY-Boediono meraup suara 73.874.562 (60,80%)*, jauh meninggalkan lawannya Megawati-Prabowo yang meraih suara 32.548.105 (26,79%) dan JK-Wiranto 15.081.814 (12,41%).

Pilpres 2014 berlangsung dengan peserta yang lebih ramping. Hanya ada dua pasangan yang maju dalam pemilihan langsung, mereka adalah Joko Widodo-Jusuf Kalla melawan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Hasilnya adalah: Jokowi-JK memperoleh 70.997.833 (53,15 persen). Sementara itu, pasangan nomor urut satu, Prabowo-Hatta, mendapat 62.576.444 (46,85 persen).

Kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya terealisasikan dalam jumlah suara dalam pemilu dan melihat hasil pemilu 2009 dimana SBY mendapat 60,8% , Megawati 26,79% dan JK 12,41%. Terdapatnya 3 pasangan Pilpres yang menimbulkan pilihan yang lebih banyak sehingga rakyat diberi kesempatan leluasa memilih dan hasilnya cukup jauh selisihnya. Bahkan pada pemilu 2004 terdapat 5 pasangan calon yang membuat Rakyat lebih banyak pilihan. Berbeda dengan Pilpres 2014 dimana hanya ada 2 pasangan calon dan hasilnya terpaut sedikit saja 53,15% berbanding 46,85% bila dibanding pilpres 2009. Kejadian Pilpres tahun 2019 ternyata sama dengan di tahun 2014 dimana hanya 2 pasangan yang berbeda hanya calon wakil presidennya.

Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan 267juta penduduk (proyeksi 2019) dan terdapat 20 partai politik sebagai persertanya di tahun 2019 ini, mengapa hanya dapat menyodorkan 2 pasangan calon. Juga kenyataan partai politik ketika menyodorkan kandidat pemimpin banyak mengambil bukan dari partainya dapat diistilahkan bila partai politik sebagai pedagang buah maka ketika berjualan mereka lebih memilih buah yang masak dan ranum walaupun bukan dari pohon sendiri melainkan pohon-pohon lain yang ada dan sudah menghasilkannya. Ini bukti nyata pengkaderan tidak berjalan serta menjadikan juga politik dagang sapi seperti beberapa artis dari suatu partai dibeli oleh partai lain untuk mendapatkan suara.

Dibeberapa tempat sudah terjadi pemilihan kepala daerah hanya di sodorkan 1 pasangan calon dan hasilnya di menangkan kotak kosong.

Bisa jadi di tahun 2024 hanya ada 1 pasangan calon dan dapat saja hasilnya adalah pemenangnya kotak kosong.

Dari biaya yang sudah dikeluarkan sangatlah banyak akan tetapi kita hanya mendapatkan kotak kosong sebagai pemimpin kita.

Sebagai info jika ditotal, sejak 2014 hinga 2019, pemerintah akan mengeluarkan uang senilai Rp 65,45 triliun dalam menyelenggarakan pesta demokrasi. Rencana ini biasanya angkanya membengkak, Asal tahu saja, uang sebesar itu sekiranya bisa untuk membangun 570 km jalan tol, 9.735 km jalan dengan lebar 6 meter, sementara jarak Sabang ke Merauke saja hanya 8,400 km, ditambah bisa membangun 100 unit gedung pencakar langit setinggi 35 lantai.

Belum dana-dana yang dikeluarkan oleh calon kandidat, partai-partai serta sumbangan dari pribadi, perusahaan dan lembaga-lembaga lainnya dalam Pemilu sehingga jumlahnya beberapa kali lipat dari dana yang dikeluarkan pemerintah.

Jika dilihat siklus 5 tahunan (2014 sd 2019) maka total anggaran Pemilu adalah 40,8 Triliun. Jumlah yang tidak sedikit. Dana diatas belum termasuk yang dikeluarkan oleh para Calon Legislatif, Calon Kepala Daerah, Partai-partai dan Calon Presiden. Angkanya bisa membekak dengan jumlah yang Fantastis. Sementara efektifitas pemerintahan Pusat, Daerah dan pengawasanan dari Legislatif belum optimal atau dapat saja dikatakan minim.

Banyak masalah sosial terjadi ketika terjadi pemilu tidak hanya di masyarakat tetapi juga di kalangan partai-partai, bahkan para pasangan petahana yang sebelumnya menjadi pasangan pada saat menjabat maka mereka menjadi pesaing pada pemilu. Belum lagi pemanfaatan dana dan Fasilitas negara oleh petahana yang baru menjabat 1 periode karena di undang - undang diperbolehkan sampai 2 periode.

Mengacu pada hal diatas maka ada keinginan agar pemilu dilakukan 8 (delapan) tahun sekali dengan Jabatan yang diemban hanya 1 (satu) periode jabatan. Selain pasti menghemat dana juga meminimalkan gesekan sosial di masyarakat serta menghindari sogokan, jual beli jabatan dan lainnya pada saat 1 periode para petahana menjabat dan berakhir jabatan serta akan mencoba peruntungan di jabatan periode yang ke2.

Keinginan pemilu setiap 8 tahunan diatas masih perlu dikaji dan dimusyawarahkan karena ada masyarakat yang mendapat keuntungan dari pemilu lima tahunan seperti para buzzzer, calo suara, media masa dan lain sebagainya dimana dengan pemilu 8 tahunan maka kesempatan itu menjadi lebih lama.

Mengacu di USA setiap jabatan Presiden adalah 4 tahun dan maksimal 2 periode maka jika seseorang presiden di USA menjabat 2 periode jika di total masa menjabatnya adalah 8 (delapan) tahun.

Juga perlu dikoreksi mengenai Presidential threshold dimana Besaran presidential threshold kembali berubah pada Pilpres 2019. Ketentuan tentang ambang batas itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Pasal 222 UU itu menyebutkan, pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Jika pemilihan Presidential thresold menjadi 0% sehingga memunculkan lebih banyak pilihan kepada masyarakat untuk memilih pilihannya. Jika ada orang yang mengkawatirkan bahwa presiden yang terpilih nanti kurang kuat mendapat dukungan dari DPR karena 0% maka kita dapat melihat sejarahnya bahwa partai-partai (DPR) banyak "merapat" ke pemenang Presiden walaupun awal kontestasi merupakan lawanya, ini jadi pertanyaan menarik mengenai kekhawatiran 0% yang bisa jadi ada pihak-pihak/partai-partai yang tidak mendapat "bagian" ketika calon kandidat mengajukan diri sebagai Presiden.

Pilihan ada di tangan Anda..?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image