Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image HeryWibowo

Membangun Mahasiswa Bervisi Sosial Melalui Kurikulum Apresiatif (Bag #02)

Eduaksi | Wednesday, 09 Mar 2022, 17:03 WIB

Pada tulisan bagian pertama telah dikupas sejumlah tantangan dalam membangun gernasi mahasiswa bervisi sosial tinggi dan berjiwa nasionalisme. Berikut ini adalah lanjutan tulisan untuk mengupas lebih lanjut sepercik solusi yang ditawarkan

Perlu diketahui, bahwa tantangan dalam membangun generasi yang memiliki cinta tanah air dan jiwa patriotisme tinggi memang semakin besar. Di tengah potensi masuknya pengaruh asing dalam bentuk kepemilikan usaha, tenaga kerja terampil, skema usaha berbasis on-line, bahkan penguasaan pengelolaan infrastruktur dan tata kelola moda transportasi, maka diperlukan putra-putra bangsa yang sangat cerdas, nasionalis, berdaya inovasi tinggi dan mampu berpikir apresiatif. Jangan terlalu mudah menyalahkan generasi muda ketika mereka tidak tertarik untuk terjun ke petani dan pengrajin rotan misalnya, untuk kemudian berkolaborasi untuk membangun industri rotan lokal, ketika kurikulum pendidikan mereka tidak pernah didesain untuk membangun amanah mahasiswa sebagai agen pemberdaya masyarakat. Apalagi, setiap detik mahasiswa dapat melihat kedalam gadget-nya beragam godaan yang luar biasa untuk bergabung di perusahaan luar negeri.

Saatnya kurikulum tidak disusun dengan semangat ‘lip service” alias hanya tampak cantik dan berbau internasional dari luar saja (dimensi jasmaniah). Namun, inilah momen untuk membangun sisi ruhaniah dari kurikulum. Mendatang, kurikulum harus mampu membangun sisi afeksi atau penghayatan mendalam dari mahasiswa tentang peran penting, tugas dan amanah dari mahasiswa itu sendiri sebagai penerus bangsa. Mahasiswa harus sangat menyadari bahwa dipundaknya terkandung amanah, asa dan harapan dari puluhan juta penduduk Indonesia yang belum berkesempatan kuliah. Mereka perlu menyadari bahwa selama 4-5 lima tahun mereka berkuliah, kiprah mereka ditunggu oleh jutaan keluarga Pra-Sejahtera dan ratusan ribu pengangguran untuk harapan hidup yang lebih baik. Mahasiswa wajib detik mereka belajar di kampus, kiprah dan kontribusi mereka sudah ditunggu oleh masyarakat Indonesia.

Berpikir Apresiatif.

Para ahli psikologi (khususnya bidang industry) telah lama memikirkan ragam hal krusial dalam pola pikir manusia, sehingga mereka menemukan apa yang dinamakan dengan pola pikir apresiatif. Skema ini mengajak manusia untuk melihat apa yang berpotensi untuk dikembangkan, alih-alih hanya berfokus pada sumber permasalahan dan apa yang perlu diperbaiki. Hampir sewindu yang lalu, Risfan Munir telah membedah isu ini dalam buku Manajemen Apresiatif. Pegiat Organisasi Nirlaba dari ImagineChichago, Browne, menjelaskan bahwa Appreciative inquiry helps us to understand the “best of what is” in an organization or social system; and leads to imagining and creating a collectively envisioned, grounded, future.

Kurikulum Apresiatif

Pada konteks tulisan ini, penulis (secara singkat dan padat) mencoba menghubungkannya dengan kurikulum untuk Perguruan Tinggi. Sehingga kurikulum apresiatif -secara luas- dapat dimaknai sebagai sebuah rangkaian proses pendidikan yang mampu mendorong peserta didik mampu untuk: (1) Menghargai apa yang dimiliki. Maknanya lulusan Perguruan tinggi wajib mampu mengembangkan keilmuannya untuk mengembangkan potensi riil bangsa, khususnya dilingkungan terdekatnya. Bukan hanya silau dengan perkembangan teknologi global, namun mampu secara akurat memetakan, menjangkau, menyentuh dan berinovasi dengan seluruh sumber daya bangsa yang ada di depan mata. (2) Fokus pada potensi, alih-alih mengeluhkan kekurangan. Kurikulum yang baik seyogianya tidak menciptakan generasi instan, malas, gampang putus asa dan mudah mengeluh. Kegagalan proses pendidikan adalah karena jarang mengenalkan peserta didik pada pentingnya berproses, sehingga peserta didik kehilangan kesempatan untuk belajar mengenali dan merasakan ‘potensi atau sistem sumber’ di zona lingkungan terdekatnya.

Lalu (3) Merencanakan apa yang akan dibangun/dikembangkann di masa depan, bukan menyalahkan apa yang telah terjadi di masa lalu. Sikap mental ini wajib dibangun melalui kurikulum yang terstruktur, sistematik dan massif. Sebab, budaya mudah menyalahkan, mencari kambing hitam, berlindung dibalik sejuta alasan negatif telah terlanjur mentradisi. Jika peserta didik tidak mengerti pelajaran, maka guru disalahkan, jika prestasi jelek, maka fasilitas disalahkan dan lain-lain adalah contoh dari sikap mental yang perlu dibuang jauh-jauh. Maka lulusan dengan pola pikir ini, diharapkan akan mampu menggantikan generasi sebelumnya yang sering kehilangan energi untuk berkinerja optimal, karena terlalu sibuk dengan aksi salah-menyalahkan diantara mereka.

Nasionalisme

Wacana nasionalisme ibarat sumur tanpa dasar, yaitu isu yang tidak akan pernah kering untuk digali. Pada konteks ke-Indonesia-an, maka kurikulum pendidikan wajib di bangun untuk menumbuhkan etos nasionolisme tingkat akut, untuk mendorong dominasi pengembangan dan inovasi keilmuan, sebesar-besarnya untuk manfaat dan maslahat bangsa.

Kesadaran penuh untuk berdaulat di atas potensi bangsa perlu dihayati sejak mereka masuk Perguruan tinggi. Semangat untuk mengejawantahkan syair ‘tongkat kayu dan batu jadi tanaman (KoesPloes) wajib diinternalisasi. Sehingga -misalnya- alih-alih menjadi pengusaha barang impor (untuk mengejar keuntungan instan), mahasiswa harus menjadi lokomotif pengembangan industri lokal padat karya untuk membangun kesempatan kerja sekaligus meledakkan potensi sumber daya lokal. Alih-alih berkeinginan bekerja di perusahaan asing, kurikulum apresiatif akan membuat mahasiswa justru merasa bersalah jika tidak terjun ke desa di pelosok Indonesia untuk membangun inovasi sosial dan ekonomi berkelanjutan disana.

Setiap individu warga negara perlu berfikir jernih bahwa dirinya merupakan bagian atau subdimensi dari konektivitas bangsa yang menghasilkan sebuah konsekuensi logis bahwa kontribusi nya menentukan maju mundurnya bangsa tersebut.

Hari ini, potensi kewirausahaan dan bisnis global adalah keniscayaan, serta merupakan kesempatan bagi setiap insan, sehingga mudah menggoda generasi Z untuk menekuninya dan melupakan amanah pembangunan bangsa. Sehingga, para pendidikan selalu punya kesempatan untuk meninggalkan gading emas pendidikan untuk membangun pola pikir apresiatif, jiwa nasionalisme dan semangat spiritualisme tinggi bagi generasi selanjutnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image