Rabu 09 Mar 2022 17:41 WIB

Muhammadiyah: Hukum Nikah Beda Agama Jelas, Penegakannya yang Belum

Muhammadiyah menegaskan hukum nikah beda agama tidak sah menurut Islam dan negara

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nashih Nashrullah
Menikah. (ilustrasi). Muhammadiyah menegaskan hukum nikah beda agama tidak sah menurut Islam dan negara
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Menikah. (ilustrasi). Muhammadiyah menegaskan hukum nikah beda agama tidak sah menurut Islam dan negara

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti menyampaikan tanggapan soal pernikahan beda agama yang belakangan ini menjadi viral. 

Dia menekankan, pernikahan beda agama tidak sah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Hukum Islam. 

Baca Juga

"Dalam Undang-Undang Perkawinan disebutkan pernikahan dinyatakan sah sesuai agama dan keyakinan mempelai. Demikian halnya dengan (Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang) Kompilasi Hukum Islam," kata dia kepada Republika.co.id, Rabu (9/3/2022). 

Mu'ti melanjutkan, perkawinan campuran di dalam Undang-Undang Perkawinan adalah pernikahan mempelai yang berbeda warga negara, bukan yang berbeda agama. 

Menurut dia, kemudian banyak pasangan yang menikah beda agama melakukannya di luar negeri. Setelah itu bukti administratif pernikahannya disahkan di Indonesia. 

Karena itu, Mu'ti mengungkapkan, UU Perkawinan yang ada saat ini sebetulnya sudah jelas. "Regulasi sudah jelas. Problemnya adalah penegakkan dalam pelaksanaannya," ujar guru besar ilmu pendidikan agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu. 

Dia juga menjelaskan, dalam hukum Islam sendiri, mayoritas ulama berpendapat bahwa pernikahan beda agama tidak sah. Alquran juga melarang Muslim menikah dengan orang-orang musyrik. Perdebatan kemudian terjadi ihwal pernikahan antara seorang Muslim dengan perempuan Ahli Kitab. 

"Akan tetapi (para ulama) bersepakat bahwa perempuan Muslim tidak boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim," ungkapnya. 

Mu'ti juga mengingatkan, dalam konteks hukum Islam, tujuan pernikahan adalah untuk kebahagiaan (sakinah), regenerasi, dan dakwah. Dengan demikian, dalam memilih pasangan pun diutamakan mempertimbangkan agama sebagai dasar yang utama. 

Di Indonesia, perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dua aturan ini mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan termasuk perkawinan antaragama. 

Pada pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan, disebutkan bahwa "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". 

Kemudian, dalam pasal 4 Inpres 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dinyatakan, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. 

Dalam pasal 40 huruf c Inpres 1/1991, dinyatakan bahwa "Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu." Dalam huruf c disebutkan, "Seorang wanita yang tidak beragama Islam."  

Inpres itu juga mengatur larangan perkawinan antara wanita Islam dengan pria yang tidak beragama Islam. Pasal 44 Inpres 1/1991 menyatakan, "Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam."  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement