Rabu 09 Mar 2022 06:50 WIB

Uji Ambang Batas Pencalonan Presiden, Jaya Suprana Diberi 'Petuah' Hakim MK

Jaya Suprana yang berharap ketentuan Presdential Threshold dihilangkan. 

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus Yulianto
Jaya Suprana ajukan uji ambang batas pencalonan presiden ke MK.
Foto: Jaya Suprana
Jaya Suprana ajukan uji ambang batas pencalonan presiden ke MK.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Semua permohonan pengujian aturan ambang batas presiden dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat diterima. Namun, hal itu tak menyurutkan niat Jaya Suprana yang berharap ketentuan presdential threshold dihilangkan. 

Jaya tercatat menjadi pemohon perkara Nomor 16/PUU-XX/2022 yang menguji secara materiil Pasal 222 UU Pemilu. Dalam sidang perdana yang digelar pada Selasa (8/3/2022) di Ruang Sidang Pleno MK, Jaya hadir tanpa kuasa hukum. Jaya mendalilkan Pasal 222 UU Pemilu membatasi hak warga negara untuk maju dalam pencalonan wakil presiden.

“Dengan adanya peraturan presidential threshold ini hasrat tidak ingin melanjutkan karena tidak memiliki akses ke partai politik dan tidak memiliki dana,” kata Jaya di hadapan panel sidang yang diketuai Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.

Dalam petitumnya, Jaya meminta MK menyatakan Pasal 222 UU Pemilu tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Baca juga : Bawaslu: Belum Ada Perubahan Tanggal Pemungutan Suara Pemilu 2024

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyarankan pemohon untuk menambahkan peraturan dan UU MK yang terbaru serta meminta pemohon untuk menguraikan kerugian konstitusional yang dialami. Selain itu, dia meminta, agar pemohon membaca putusan-putusan MK terdahulu yang menguji Pasal 222 UU Pemilu.

Sedangkan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan, pemohon menjelaskan alasan kuat dalam mengajukan permohonan pengujian UU Pemilu untuk meyakinkan MK. 

“Karena pemohon itu, apa yang dimohonkan, itulah yang harus dia disampaikan, termasuk pokok-pokoknya di situ. Jadi sampaikan, saya memohonkan, disampaikan, sesuai dengan formatnya di situ, satu per satu. Jadi, bukan MK yang menebak‑nebak nanti apa yang dimohonkan di situ, tetapi berdasarkan apa yang memang menjadi kehendak dari Prinsipal, kebetulan di sini langsung yang maju adalah Prinsipalnya langsung,” ujar Enny.

Kemudian, Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta pemohon untuk menguraikan kedudukan hukum pemohon. “Kalau Pak Jaya bisa meyakinkan bahwa yang punya legal standing adalah tidak hanya partai politik yang sudah pernah ikut pemilu, tapi perorangan sebagaimana kayak Pak Jaya ini bisa punya legal standing. Nah, itu harus dibangun konstruksi hukumnya, narasinya, supaya Mahkamah bisa mengubah pendiriannya memberikan legal standing kepada perseorangan warga negara Indonesia,” ujarnya. 

Baca juga : Aturan Perjalanan Direlaksasi, Garuda Harap Trafik Penumpang Naik

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement