Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tita Rahayu Sulaeman

Kemandirian Pangan Masih Sebatas Angan

Agama | Tuesday, 08 Mar 2022, 04:58 WIB
sumber gambar : republika.co.id

Belum usai kepanikan masyarakat akibat kelangkaan minyak goreng, kini masyarakat dikejutkan dengan kabar harga daging sapi yang mengalami kenaikan. Menurut Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagin) Kota Bandung, Elly Wasliah, kenaikan harga daging disebabkan karena melonjaknya harga daging sapi kemasan asal Australia dan New Zealand. Menurutnya, Kota Bandung belum mampu memenuhi kebutuhan daging sapi potong secara mandiri dan masih sangat bergantung pada dua negara itu. Diprediksi, kenaikan harga daging sapi akan terus merangkak naik hingga menjelang Ramadhan dan Idul Fitri (republika.com 25/02/2022).

Kenaikan harga pada beberapa bahan pokok terjadi dalam rentang waktu yang berdekatan. Selain minyak goreng dan daging sapi, kedelai yang merupakan bahan pokok pembuatan tahu dan tempe juga mengalami kenaikan harga. Baik minyak goreng, kedelai maupun daging sapi, alasan kenaikan harga adalah penyesuaian dengan harga internasional. Masyarakat tidak memiliki pilihan lain selain menerima kenaikan harga. Sungguh kondisi yang sulit karena masyarakat masih berjuang bangkit akibat pandemi.

Kenaikan harga kebutuhan pangan terjadi terus berulang dan seolah tak dapat dihindari. Ini terjadi karena ketergantungan dalam negeri pada impor komoditas pangan. Padahal pangan adalah hal yang sangat dibutuhkan rakyat. Namun membuka keran impor dipilih menjadi jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat.

Dalam sistem kapitalisme, selama impor mendatangkan manfaat bagi sebagian pihak maka hal itu sah-sah saja dilakukan. Negara merestui keberadaan para pengimpor dengan mengesampingkan dampak dari ketergantungan terhadap produk impor. Kebijakan diambil untuk melicinkan urusan pengimpor. Negara bisa berdalih impor dilakukan karena tidak memiliki cukup supply untuk memenuhi demand dalam negeri. Namun tak jarang kebijakan impor juga malah menyulitkan rakyatnya sendiri, mulai dari para petani, peternak hingga masyarakat yang menjadi konsumen terkena dampak penyesuaian harga internasional. Selama kapitalisme masih menjadi landasan dalam bernegara, maka kemandirian pangan hanyalah sebatas angan-angan.

Pemimpin adalah Raa’in

Dalam pandangan hukum Islam, negara bertanggung jawab menjamin kebutuhan asasi rakyatnya termasuk diantaranya pangan. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW

إِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. Al-Bukhari)

Maka dengan landasan ini, para pemegang kekuasaan akan memprioritaskan kepentingan umat. Tidak akan ada yang mencoba untuk meraih keuntungan untuk pribadi maupun golongannya karena semua akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT di akhirat kelak.

Mengatasi Supply-Demand dengan Kemandirian Pangan

Meski dalam perekonomian supply-demand adalah hal lazim terjadi, namun bukan berarti tak bisa ditangani oleh negara. Negara tidak hanya menjadi regulator namun menjadi penanggungjawab penuh dalam memenuhi ketersediaan pangan. Dengan segala upaya, negara akan memenuhi ketersediaan pangan bagi rakyatnya. Kebijakan impor tidak akan dilakukan dalam sistem pemerintahan Islam yang berkarakteristik mandiri.

Untuk memenuhi ketersediaan pangan pertanian, negara bisa meningkatkan produktivitas pertanian dengan mengolah lahan yang ada secara intensif (intensifikasi). Mulai dari pemilihan bibit-bibit yang unggul, sistem irigasi yang menunjang, pemberian pupuk secara teratur hingga memberantas hama menjadi tanggung jawab negara. Selain itu, negara juga bisa membuka lahan-lahan pertanian baru (ekstensifikasi). Upaya perluasan lahan pertanian ini dilakukan oleh negara secara berkesinambungan dan pelaksanaannya diawasi oleh negara. Riset dan penelitian dalam pertanian didukung penuh oleh negara untuk menghasilkan produk pangan berkualitas.

Demikian halnya dengan komoditas peternakan. Peternakan merupakan sumber daya yang mampu diperbaharui, sehingga kemandirian sangat mungkin diraih. Negara bisa mengembangkan wilayah berdasarkan komoditas ternak. Pelatihan diberikan bagi peternak. Negara juga melakukan pengawasan penuh pada proses produksi hingga distribusi ke masyarakat. Negara juga melakukan optimalisasi produk peternakan melalui pengembangan teknologi tepat guna serta peningkatan bibit-bibit unggul. Dengan demikian kemandirian pangan dapat diraih dan ketersediaan pangan dalam negeri dapat terjamin.

Pemberantasan Kartel

Kenaikan harga pangan juga salah satunya karena adanya pihak-pihak yang mencoba meraup keuntungan dengan menahan produk beredar di pasaran. Mereka menimbun komoditas sehingga terjadi kelangkaan di masyarakat. Dalam pandangan hukum Islam, praktek penimbunan (kartel) ini adalah hal terlarang.

لا يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ

“Tidaklah melakukan penimbunan kecuali orang yang berbuat kesalahan.” (HR Muslim)

Maka negara harus memberantas keberadaan para penimbun ini.

Kenaikan harga kebutuhan pokok bisa dihindari dengan solusi yang paripurna. Bukan dengan impor, namun segala upaya dilakukan meningkatkan produktifitas dalam rangka meraih kemandirian pangan. Tidak cukup dengan operasi pasar, namun juga memberantas keberadaan para kartel. Para pemangku jabatan merupakan individu yang bertaqwa sehingga kekuasaaan yang dimilikinya tidak lain digunakan untuk mengurusi rakyatnya. Individu maupun pemilik perusahaan yang terlibat dalam pengadaan pangan pun memiliki ketundukan terhadap syariat sehingga tidak akan mampu melakukan pelanggaran demi meraih keuntungan pribadi dan merugikan masyarakat. Demikianlah sempurnanya Islam ketika dijadikan landasan dalam berprilaku oleh individu, masyarakat maupun negara.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image