Selasa 08 Mar 2022 06:44 WIB

Merasa tak Dilindungi, Pekerja Lepas Gugat UU Ketenagakerjaan ke MK

Gugatan diajukan pekerja lepas yang tinggal di Cimahi, Muhammad Reynaldi Arianang.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus Yulianto
Mahkamah Konstitusi (MK) menyidakan perkara gugatan UU Ketenagakerjaan.
Foto: Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (MK) menyidakan perkara gugatan UU Ketenagakerjaan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) pada Senin (7/3) secara daring. Permohonan perkara Nomor 17/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh pekerja lepas yang tinggal di Cimahi, Muhammad Reynaldi Ariananda Arkiang. 

Reynaldi menguji Pasal 90 ayat (1), Pasal 91 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945. Menurut Reynaldi, pasal-pasal yang dimohonkan pengujian tersebut hanya melindungi pekerja atau buruh yang bekerja untuk perusahaan. Sedangkan Pemohon merupakan pekerja yang tidak bekerja kepada perusahaan, sehingga Reynaldi merasa dirugikan hak konstitusionalnya akibat berlakunya pasal-pasal tersebut.

“Pasal 90 ayat (1) dan Pasal 91 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 13/2003 juga telah merugikan hak konstitusional Pemohon yaitu hak untuk memiliki hidup berperikemanusiaan yang adil dan beradab maupun hak untuk diperlakukan dan dipandang sama oleh hukum sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945,” kata Reynaldi kepada Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo pada Senin (7/3). 

Reynaldi juga mendalilkan dirinya dan jutaan pekerja lainnya tidak bekerja untuk 'Pengusaha' yang menjalankan 'Perusahaan'. Akan tetapi Reynaldi bekerja untuk “Pemberi Kerja” yang merupakan perseorangan dan tidak menjalankan perusahaan.

Dalam petitum, Reynaldi meminta MK menyataan Pasal 90 ayat (1) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pemberi kerja dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89”. 

Reynaldi juga meminta MK menyatakan Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pemberi kerja dan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 

Terakhir, Reynaldi menyatakan Pasal 91 ayat (2) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pemberi kerja wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Terhadap dalil-dalil Reynaldi, Hakim Konstitusi Suhartoyo menjelaskan, pasal-pasal yang diujikan pemohon sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Oleh karena itu, Suhartoyo menasihati pemohon mempelajari ketentuan tersebut dalam UU Cipta Kerja.

“Mengenai upah minum pekerja seperti disebutkan dalam pasal-pasal yang diuji ini juga telah diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Tolong Saudara baca lagi di Undang-Undang Cipta Kerja,” kata Suhartoyo.

Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menasihati, pemohon agar menggunakan undang-undang yang utuh sebagai bahan pengujian undang-undang.

“Saudara bisa melihat di sub bagian anotasi yang ada di website MK. Bisa melihat mana undang-undang yang sudah pernah diuji dan belum pernah diuji… Terlebih lagi menguji UU Ketenagakerjaan, isu dan aspeknya banyak, dinamis karena banyak dipersoalkan dan diuji oleh kalangan akademis maupun para pekerja. Termasuk putusan-putusan pengujian UU Ketenagakerjaan,” kata Wahiduddin.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement