Senin 07 Mar 2022 14:59 WIB

Harga Batu Bara Meroket, Bukit Asam Kantongi Laba Rp 7,91 Triliun

Bukit Asam sebut kenaikan laba karena kinerja, permintaan nasional dan harga global

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Alat berat merapikan tumpukan batu bara di area pengumpulan Dermaga Batu bara Kertapati milik PT Bukit Asam Tbk di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (4/1/2022). Pemerintah mewajibkan perusahaan swasta, BUMN beserta anak perusahaan pertambangan untuk mengutamakan kebutuhan batu bara dalam negeri dan melarang perusahaan untuk melakukan ekspor batu bara selama satu bulan sejak 1 Januari hingga 31 Januari 2022.
Foto: Antara/Nova Wahyudi
Alat berat merapikan tumpukan batu bara di area pengumpulan Dermaga Batu bara Kertapati milik PT Bukit Asam Tbk di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (4/1/2022). Pemerintah mewajibkan perusahaan swasta, BUMN beserta anak perusahaan pertambangan untuk mengutamakan kebutuhan batu bara dalam negeri dan melarang perusahaan untuk melakukan ekspor batu bara selama satu bulan sejak 1 Januari hingga 31 Januari 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bukit Asam Tbk (Persero) membungkus laba bersih pada 2021 sebesar Rp 7,91 triliun. Perolehan laba ini merupakan laba tertinggi sejak perusahaan ini berdiri.

Direktur Utama PTBA Arsal Ismail menjelaskan laba bersih naik lebih dari tiga kali lipat dari perolehan laba 2020 sebesar Rp 2,39 triliun. Perolehan laba ini ditopang dari kenaikan pendapatan perusahaan sebesar Rp 29,26 triliun atau naik 69 persen dari realisasi 2020.

Baca Juga

"Pencapaian ini karena kinerja operasional yang solid. Pemulihan ekonomi global dan nasional yang permintaan kenaikan batu bara. Kenaikan harga komoditas juga turut mendorong," ujar Arsal saat konferensi pers, Senin (7/3).

Arsal menjelaskan kenaikan pendapatan ini juga ditopang dari realisasi kenaikan penjualan batubara sebesar 28,37 juta ton atau naik 9 persen dari realisasi 2020. Total produksi batu bara PTBA sebesar 30,4 juta ton. Sedangkan volume angkutan 2021 tercatat 25,42 juta ton.

"Realisasi penjualan juga 57 persen untuk pasar domestik dan 43 persen untuk pasar ekspor," ujar Arsal.

Pada tahun ini, melihat harga batu bara yang masih menarik perusahaan meningkatkan produksi batu bara menjadi 36,41 juta ton atau naik 21 persen dari realisasi 2021. Sedangkan dari sisi penjualan perusahaan mentargetkan mencapai 37,10 juta ton atau naik 31 persen dari realisasi penjualan 2021.

"Dengan kondisi ini, secara bersamaan aset kami juga naik sampai 50 persen," ujar Arsal.

Tak kejar profit

Meski harga Batubara merangkak naik bahkan sempat menyentuh angka 440 dolar AS per ton pada pekan lalu. Namun, meningkatnya harga batu bara tak membuat PT Bukit Asam Tbk meningkatkan volume ekspor secara signifikan.

Arsal menyebut PTBA tak hanya mengejar profit. Sebagai BUMN, kata Arsal PTBA tetap akan memprioritaskan kebutuhan dalam negeri. Hal ini juga sejalan dengan kebijakan DMO yang ditetapkan pemerintah.

"Ekspor, yang jelas di RKAP kita sudah mendapatkan persetujuan untuk kewajiban kita minimum 25 persen harus untuk DMO. Jadi kami, dari PTBA akan ikutin aturan aturan dalam RKAP. Tambahan porsi ekspor, tentunya kembali ke RKAP. Tapi PTBA sebagai BUMN tentunya tidak mengejar keuntungan tetapi kami juga harus memprioriitaskan kebutuhan dalam negeri," ujar Arsal dalam konferensi pers, Senin (7/3).

Baca juga: Menkeu Serahkan Nama 21 Calon Komisioner OJK, Ini Bocorannya

Hal ini juga tercermin pada kinerja 2021 yang mana 57 persen untuk pasar domestik dan 43 persen untuk pasar ekspor.

Direktur Pengembangan Bisnis PTBA Rafli Yandra menjelaskan secara porsi PTBA tidak akan mengubah komposisi antara domestik maupun ekspor. Namun, melihat target produksi yang cukup agresif pada tahun ini maka secara volume alokasi ekspor tetap akan bertambah.

"Tetapi secara quantity bertambah. Tahun ini total produksi kita bisa 35 juta ton," ujar Rafli.

Selain itu, PTBA juga meningkatkan pendekatan kepada consumer tetap luar negeri dengan kontrak jangka panjang penjualan dengan  index link. Negara tujuan juga masih sama seperti Cina, Taiwan, Thailand dan Vietnam.

"Kami tentu juga melihat pergerakan harga ini. Dimana kami tetap akan memanfaatkan potensi ekspor ini tanpa kami mengurangi porsi kebutuhan domestik," ujar Rafli.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement