Ahad 06 Mar 2022 19:31 WIB

Humas Pemda DIY Tanggapi Fadli Zon

Saat itu Sultan HB IX masih dianggap sebagai menhan.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Muhammad Fakhruddin
Pegawai membersihkan patung perunggu di Monumen Serangan Umum 1 Maret, Yogyakarta, Kamis (6/8). Selain untuk perawatan berkala, pembersihan ini juga menyambut Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Waktu pembersihan ini tidak pasti, terkadang bisa dua tahun sekali.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Pegawai membersihkan patung perunggu di Monumen Serangan Umum 1 Maret, Yogyakarta, Kamis (6/8). Selain untuk perawatan berkala, pembersihan ini juga menyambut Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Waktu pembersihan ini tidak pasti, terkadang bisa dua tahun sekali.

REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Humas Pemda DIY menanggapi pernyataan politikus, Fadli Zon terkait polemik Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Fadli Zon yang juga merupakan sejarawan tersebut mengoreksi pernyataan Humas Pemda DIY yang diposting di akun Twitter resminya, Sabtu (5/3) malam. 

Humas Pemda DIY menyebut bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai penggagas Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949 berstatus sebagai menteri pertahanan (menhan) sekaligus Raja Yogyakarta. Namun, Fadli Zon mengoreksi pernyataan tersebut bahwa saat SU 1 Maret 1949 yang menjabat menhan yakni Syafruddin Prawiranegara, yang mana juga merangkap sebagai Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Baca Juga

Kepala Bagian Biro Umum Humas dan Protokol Setda DIY, Ditya Nanaryo Aji mengatakan, saat itu Sultan HB IX masih dianggap sebagai menhan. Bahkan, kata Ditya, hal tersebut diakui oleh Syafruddin.

"Sultan masih dianggap sebagai menteri pertahanan dan itu diakui oleh Syafruddin sendiri," kata Ditya kepada Republika, Ahad (6/3/2022).

Buktinya, lanjut Ditya, Syafruddin memberi mandat kepada Sultan HB IX pada tanggal 14 Juni 1949. Ia menjelaskan, mandat diberikan Syafruddin kepada Sultan selaku menhan agar mengkondisikan dan mengatur Kota Yogyakarta dalam proses masuknya TNI dan keluarnya Belanda dari Kota Yogyakarta.

"Peristiwa itu terjadi pada tanggal 29 juni 1949 yang dikenal dengan peristiwa Yogya kembali," ujar Ditya.

Dalam akun Twitter resminya, Humas Pemda DIY tidak hanya menyebut bahwa Sultan sebagai menhan waktu itu. Namun, juga menyatakan bahwa SU 1 Maret 1949 disetujui dan digerakkan oleh Presiden Sukarno dan Wapres M Hatta.

Fadli merasa perlu merumuskan akun Humas Pemprov DIY yang menyatakan Sultan sebagai penggagas SU 1 Maret 1949, lantaran berstatus sebagai menhan. Selain itu, Fadli juga menyebut bahwa Sukarno-Hatta saat itu juga sudah jadi tawanan Belanda.

Dengan begitu, Dwi Tunggal saat itu tidak memiliki peran dalam SU 1 Maret 1949. Adapun penguasa de facto Indonesia sejak 19 Desember 1948 ketika Agresi Militer 2 Belanda, adalah Syafruddin yang memerintah Kabinet Darurat dari pedalaman Sumatra Barat.

"Sukarno-Hatta ditawan Belanda tak ada peran dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Tak ada data menyetujui apalagi menggerakkan. Sri Sultan HB IX berperan besar bersama Jenderal Soedirman, Letkol Soeharto, dan tentu di bawah PDRI (emergency government) yang beribu kota di Bukittinggi," kata Fadli.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement