Selasa 22 Feb 2022 15:29 WIB

OJK: Potensi Kerugian Ekonomi Akibat Perubahan Iklim Rp 115 Triliun

Cegah kerugian ekonomi OJK akan buat regulasi dengan taksonomi hijau sebagai landasan

Rep: Novita Intan/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyampaikan laporan  Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat potensi kerugian ekonomi akibat dampak perubahan iklim sebesar Rp 115 triliun. Adapun nilai kerugian ini bersumber dari kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyampaikan laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat potensi kerugian ekonomi akibat dampak perubahan iklim sebesar Rp 115 triliun. Adapun nilai kerugian ini bersumber dari kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat potensi kerugian ekonomi akibat dampak perubahan iklim sebesar Rp 115 triliun. Adapun nilai kerugian ini bersumber dari kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan adanya kondisi geografis dan demografis Indonesia, kerugian ekonomi akibat dampak perubahan iklim sangat signifikan. Maka itu, diperlukan pengembangan sumber pertumbuhan ekonomi baru yang berkelanjutan dan ramah lingkungan guna mendukung akselerasi pemulihan ekonomi nasional seperti pengembangan ekonomi hijau.

Baca Juga

"Seperti, perubahan paradigma shifting paradigm pada sektor riil dan sektor jasa keuangan dari kegiatan usaha business as usual menjadi green economic model," ujarnya saat webinar Green Economy Outlook 2022, Selasa (22/2/2022).

Melihat kondisi tersebut, lanjut Wimboh, OJK akan mengeluarkan berbagai pedoman regulasi OJK keterbukaan informasi, manajemen risiko serta panduan dalam pengembangan produk dan jasa keuangan berkelanjutan yang inovatif, dengan menjadikan Taksonomi Hijau Indonesia sebagai landasan.

“Kami juga mendukung program strategis pemerintah untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29 persen pada 2030 yakni mengeluarkan pedoman dan kebijakan teknis terkait insentif prudential untuk mendukung pengembangan industri kendaraan listrik berbasis baterai,” ucapnya.

Dari sisi pemerintah, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan anggaran yang dibutuhkan Indonesia untuk menurunkan CO2 sampai 2030 sebesar Rp 3.461 triliun. Adapun perhitungan tersebut berdasarkan Second Biennial update report 2018, yang merupakan spesialis untuk menghitung berapa kebutuhan dana bagi Indonesia di dalam mencapai tekad menurunkan CO2.

"Angka Rp 3.461 triliun hingga 2030 merupakan sebuah angka yang sangat signifikan," ucapnya.

Menurutnya pemerintah berkomitmen untuk menurunkan CO2 menuju carbon neutral pada 2060. Bahkan sebelumnya, Indonesia secara spesifik menargetkan menurunkan CO2 sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan upaya dan dukungan internasional.

“Indonesia berupaya mendesain kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan pertumbuhan ekonomi tanpa menimbulkan konsekuensi terhadap emisi CO2, salah satu tools yang penting bagi kita untuk mencapai tekad tersebut adalah APBN yaitu keuangan negara," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement