Senin 21 Feb 2022 03:15 WIB

Mayoritas Parlemen Ungkapkan Syarat Bila Iran Kembali ke JCPOA

Iran meminta agar semua sanksi yang saat ini masih berlaku segera dicabut.

Rep: Lintar Satria/ Red: Friska Yolandha
Pandangan umum ibu kota Teheran, Iran, 18 Januari 2022. Iran dan kekuatan dunia melanjutkan pembicaraan nuklir di Wina, Austria pada 17 Januari setelah istirahat sejenak yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan.
Foto: EPA-EFE/ABEDIN TAHERKENAREH
Pandangan umum ibu kota Teheran, Iran, 18 Januari 2022. Iran dan kekuatan dunia melanjutkan pembicaraan nuklir di Wina, Austria pada 17 Januari setelah istirahat sejenak yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan.

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Mayoritas anggota parlemen Iran mengeluarkan pernyataan mengenai enam syarat yang perlu dipenuhi bila Teheran bergabung kembali ke kesepakatan nuklir Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Pernyataan ini ditandatangani 250 dari 290 anggota parlemen Iran.

Mereka meminta pihak Amerika Serikat (AS) dan Eropa harus menjamin untuk tidak keluar dari perjanjian tersebut. Parlemen juga meminta Barat tidak menggunakan snapback mechanism.

Baca Juga

"Kami sudah belajar dari pengalaman masa lalu dan meletakan garis batas pada kepentingan nasional dengan tidak membuat komitmen apa pun tanpa mendapatkan jaminan terlebih dahulu," kata para anggota parlemen dalam pernyataan yang dilaporkan kantor berita IRNA, Ahad (20/2/2022).

Legislatif Iran juga meminta agar semua sanksi yang saat ini masih berlaku segera dicabut. Snapback mechanism merupakan klausul yang dimasukan pemerintahan mantan Presiden Barack Obama dalam perjanjian nuklir yang disepakati pada 2015. 

Klausul itu tidak mengizinkan negara penandatangan JCPOA yakni anggota parmanen Dewan Keamanan PBB yaitu AS, China, Rusia, Prancis dan Inggris ditambah Jerman, memveto mekanisme tersebut. AS khawatir China atau Rusia akan memvetonya.

Mekanisme itu memperbolehkan semua sanksi yang dicabut sebagai imbalan Iran menghentikan program nuklirnya  diberlakukan kembali bila Teheran melanggar ketentuan JCPOA. Pada tahun 2018 mantan Presiden Donald Trump mengeluarkan AS dari kesepakatan itu.

Kemudian ia memberlakukan kembali sanksi-sanksi ekonomi yang mengincar sektor perminyakan dan finansial Iran. Iran membalasnya dengan melanggar ketentuan JCPOA secara bertahap.

Sejak Presiden AS Joe Biden berkuasa, AS berusaha kembali menghidupkan JCPOA. AS menggelar perundingan tidak langsung dengan Iran di Wina yang ditengahi negara anggota penandatangan JCPOA.

Perundingan tidak langsung itu sempat terhenti berbulan-bulan karena pemilihan presiden di Iran. Perundingan dimulai kembali pada bulan November. Pada Kamis (16/2/2022) lalu AS dan Iran melaporkan kemungkinan kedua belah pihak telah mencapai kesepakatan.

Sejumlah substansi perjanjian termasuk urutan tindakan yang diperlukan untuk dilaksanakan para pihak yang terlibat agar perjanjian nuklir tersebut bisa terlaksana sudah terungkap. Tapi Iran dan Amerika Serikat sama-sama masih dibayangi keraguan.

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price, mengatakan satu sepekan terakhir perundingan untuk menyelamatkan kesepakatan program nuklir Iran telah mencapai kemajuan substansial. Price mengatakan bila Iran menunjukkan keseriusan tidak tertutup kemungkinan kesepakatan bisa tercapai dalam beberapa hari ke depan.

”Kemajuan substansial telah dicapai dalam sepekan terakhir. Jika Iran menunjukkan keseriusan, kita dapat dan harus mencapai kesepahaman bersama untuk penerapan penuh JCPOA dalam beberapa hari,” kata Price. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement