Sabtu 19 Feb 2022 14:50 WIB

Kerangkeng Manusia di Langkat Disebut Kasus Perbudakan Extraordinary

Definisi perbudakan di UU TPPO dinilai masih sangat sederhana.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus raharjo
Petugas kepolisian memeriksa ruang kerangkeng manusia yang berada di kediaman pribadi Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara.
Foto: ANTARA FOTO/Oman/Lmo/rwa.
Petugas kepolisian memeriksa ruang kerangkeng manusia yang berada di kediaman pribadi Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Peranginangin di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Patricia Rinwigati mengatakan kerangkeng manusia milik mantan Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin harus menjadi perhatian. Pasalnya, kasus tersebut kembali membuka tabir masih adanya perbudakan saat ini.

"Kasus Langkat adalah kasus yang extraordinary, dibanding sehari-hari yang kita temui. Oleh karena itu perlu disikapi sebenarnya bersama, karena yang dekat dengan kita juga tidak dilupakan," ujar Patricia dalam diskusi daring, Sabtu (19/2/2022).

Baca Juga

Ia menjelaskan definisi perbudakan dalam Konvensi Anti Perbudakan pada 1926. Perbudakan adalah status atau keadaan seseorang yang atasnya sebagian atau seluruh kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan dijalankan.

"Si budak itu tidak punya satu hak apapun, termasuk dia untuk berdiri dan mengatakan bahwa 'saya diperlakukan sewenang-wenang' tidak ada. Karena dia pun di dalam beberapa peraturan perundang-undangan nasional di beberapa negara bahwa mereka tidak memiliki legal standing," ujar Patricia.

 

Selanjutnya pada 2012 lewat Bellagio Harvard Guideline on the Legal Parameters of Slavery menjelaskan, perbudakan adalah kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan kontrol atas seseorang. Sehingga secara signifikan menghilangkan kebebasan individunya dengan maksud untuk dieksploitasi melalui penggunaan, pengelolaan, keuntungan, transfer, atau pelepasan.

"Kepemilikan itu harus diartikan sebagai kepemilikan dan kontrol. Jadi kontrolnya itu untuk dieksploitasi, jadi milik dalam konteks ini adalah bisa kepemilikan de jure, bisa de facto," ujar Patricia.

Sementara itu di Indonesia, ihwal hak asasi manusia diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dalam Pasal 28I Ayat 1 berbunyi, "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun".

Adapun terkait perdagangan manusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Di dalamnya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tujuan seseorang untuk mengeksploitasi seseorang untuk keuntungannya.

"Yang saya mau lihat adalah perbudakan itu masih belum kekeh, karena studi kasusnya masih sedikit. Jadi definisinya juga masih sangat sederhana," ujar Patricia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement