Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Bustanol Arifin

Mengapa Guru Harus Bisa Menulis 1

Guru Menulis | Friday, 18 Feb 2022, 16:43 WIB
Penulis saat mengisi kegiatan Leadership Training Centre bagi para pemuda Hidayatullah di Yogyakarta. 
Penulis saat mengisi kegiatan Leadership Training Centre bagi para pemuda Hidayatullah di Yogyakarta.

Saat memutuskan “Mengapa Guru Harus Bisa Menulis?” sebagai tema tulisan ini. Saya teringat akan sosok Imam Al-Ghazali, hidup pada tahun 450 H/1058 M – 505 H/1111 M. Dia yang berjuluk Hujjatul Islam telah menjadi inspirasi bagi kebangkitan umat Islam pada masanya. Bahkan, oleh sebagian ahli Imam Ghazali dianggap orang yang berkontribusi melahirkan pejuang Islam bernama Shalahuddin Al-Ayyubi, komandan pasukan Islam di perang salib dan sang pembebas negeri Palestina.

Karyanya yang paling fenomenal atau Best Seller bahkan Mega Best Seller adalah Ihya Ulumiddin. Meskipun sang penulis telah tiada, namun hingga kini ia tetap hadir menyapa para handai taulan dengan tulisannya. Memberikan wejangan tentang hikmah kebaikan dan kebajikan. Lewat tulisannya, banyak orang yang sadar lalu berbenah ke jalan kebenaran. Ungkapannya yang masih terdokumentasikan hingga saat ini “Jika engkau bukan anak raja, dan buka anak seorang pesohor, maka jadilah penulis”.

Di Indonesia, ada Abdul Malik Karim Amrullah atau familiar dengan panggilan Buya Hamka yang secara jasad telah lama meninggalkan dunia. Sosok ulama kharismatik yang telah mengabdikan dirinya untuk bangsa Indonesia. Ia seorang guru, penceramah, politisi, wartawan dan juga penulis. Bukunya yang terkenal adalah Tafsir Al-Azhar, dirampungkan penulisannya saat sedang dirinya di penjara. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck masih tetap eksis mengajak pembacanya untuk merenungkan pesan-pesan moral yang disampaikan.

Tulisan ini tentu bukan ingin membahas sosok orang yang punya nama lengkap Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali ini. Juga bukan dalam rangka memasarkan buku-buku karya Buya Hamka. Namun, jadi menarik karena Al-Ghazali selain sebagai sosok guru pada Madrasah Nizamiyah di Baghdad, ia juga seorang penulis yang sangat produktif. Bahkan, dari tangannya lahir ratusan karya tulis yang sampai sekarang dapat kita nikmati. Begitu pula dengan Hamka, dari sosok Hamka dan bukunya kemudian lahir guru sekaligus penulis semisal dengannya.

Dua sosok ini menggambarkan begitu penting dan strategisnya tulisan dalam membentuk dan melahirkan insan-insan yang berilmu, beriman dan beramal. Mungkin saja, seandainya para ulama dan guru terdahulu tidak menuliskan apa yang diajarkan, hanya mencukupkan diri pada penyampaian materi secara lisan. Niscaya pesan-pesan kebajikan itu akan hilang bersama kepergian sang guru tersebut.

Lantas bagaimana dengan kita? Diakui atau tidak, bangsa Indonesia hingga saat ini masih mempunyai PR besar terkait literasi menulis. Budaya masyarakat Indonesia yang lebih menyukai mendengarkan daripada menulis merupakan salah satu problema yang mesti diselesaikan. Bahkan, sekedar mengutarakan ide secara lisan saja masih sulit bahkan ada yang cenderung diam. Tengok saja misalnya, saat Abdul Somad menyampaikan tausiah keagamaanya. Ribuan orang memadati ruang kegiatan. Namun, di lain sisi membiarkan buku-buku yang penuh dengan tulisan bergizi di biarkan.

Alih-alih mau mengembangkan literasi menulis, sekedar mengubah tradisi mendengar ke membaca masyarakat masih sangat sulit diterapkan. Inilah tradisi intelektual masyarakat kita yang telah lama menjerat bangsa ini. Seorang guru lebih suka membacakan kisah-kisah para pejuang kemerdakaan bangsa ini saat melawan penjajah, dari pada menyuruh murid-muridnya untuk membaca sendiri buku sejarah tersebut. Akibatnya, sang guru tak ubahnya seperti pendongeng yang bercerita kepada anaknya sebelum tidur.

Sebuah riset yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016, tingkat minat membaca masyarakat Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara, yakni hanya 0,001%. Artinya, dari seribu orang masyarakat Indonesia, yang membaca hanya 1 orang. Karena itu, jika tradisi membaca masyarakat kita masih rendah, jangan bermimpi untuk mengembangkan tradisi membaca ke menulis atau bahkan melahirkan seorang penulis.

Menulis memang tidak dapat dilepaskan dari tradisi membaca. Sebuah negera yang masyarakatnya memiliki tradisi membaca yang tinggi. Maka, akan dengan mudah ditemukan tulisan-tulisan yang ditelurkan melalui kegiatan membaca. Artinya, seorang penulis dapat dipastikan adalah sosok yang rajin membaca. Seorang Asma Nadia, tidak mungkin dapat menuliskan 77 judul Novel, jika ia tidak rajin membaca.

Negara manapun di dunia ini akan mengalami kemajuan peradaban manakala masyarakatnya gemar membaca dan tekun menulis. Tulisan merupakan tonggak kemajuan peradaban sebuah bangsa. Tulisan merupakan salah satu unsur yang mengandung pesan-pesan pendidikan yang berusia sangat panjang, sepanjang sejarah kehidupan di muka bumi ini. Ia tak lekang oleh zaman dan waktu, bahkan dari tulisan akan melahirkan tulisan-tulisan yang semisal sesuai dengan perkembangan zamannya.

Disinilah peran guru dinantikan. Sebagai seorang guru yang tugas utamanya adalah mencerdaskan anak bangsa. Melahirkan manusia-manusia yang berilmu, beriman, beramal dan beradab. Mengantarkan anak didiknya menjadi generasi yang siap melanjutkan estafeta kepemimpinan bangsa Indonesia. Tidak hanya itu, seorang guru harus mampu menjadi teladan bagi para siswanya demi kemajuan bangsa ini.

Hal yang lebih penting lagi, bagaimana tradisi menulis ini kemudian menular kepada guru-guru di Negara Indonesia tercinta ini dengan tetap mempertahankan metode panyampaian pesan melalui komunikasi interpersonal (tatap muka). Karena bagaimanapun, sebagai makhluk sosial tidak mungkin menghidar dari kegiatan komunikasi dalam sebuah komunitas sosial. Bagi seorang guru, menulis bukan lagi sebagai tuntutan tapi, sudah menjadi keharusan. Guru tidak hanya harus piawai dalam menyampaikan materi ajar melalui lisan, tapi juga harus mampu merangkai kata menjadi sebuah tulisan yang enak dibaca oleh berbagai kalangan.

Dapat dibayangkan, jumlah guru di Indonesia saat ini sekitar tiga juta orang (belum termasuk guru pesantren). Jika 3 juta guru ini menulis sesuai dengan bidang kepakaran masing-masing maka, akan terjadi lonjakan kemajuan pada bangsa ini. Selain itu, pontensi untuk mengubah paradigma masyarakat tentang pentingnya kegiatan literasi membaca dan menulis sangat dimungkinkan terjadi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image