Jumat 18 Feb 2022 15:39 WIB

Pengamat: Peran Petani dalam Rantai Pasok Pangan Hanya Sebagai Price Taker

Pengamat dari CIPS mendorong penggantian subsidi petani dari pupuk ke direct payment

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Petani bawang merah di Kabupaten Keerom, Papua.  Petani berperan penting dalam rantai pasok pangan. Namun, peran ini masih bisa ditingkatkan lagi dengan dukungan regulasi, skema bantuan dan penyuluhan yang lebih efektif dan tertarget, serta penyediaan infrastruktur yang memadai.
Foto: Kementan
Petani bawang merah di Kabupaten Keerom, Papua. Petani berperan penting dalam rantai pasok pangan. Namun, peran ini masih bisa ditingkatkan lagi dengan dukungan regulasi, skema bantuan dan penyuluhan yang lebih efektif dan tertarget, serta penyediaan infrastruktur yang memadai.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Petani berperan penting dalam rantai pasok pangan. Namun, peran ini masih bisa ditingkatkan lagi dengan dukungan regulasi, skema bantuan dan penyuluhan yang lebih efektif dan tertarget, serta penyediaan infrastruktur yang memadai.

”Realita yang terjadi di lapangan justru seringkali tidak menguntungkan petani. Petani tidak memiliki posisi tawar yang menguntungkan saat bertransaksi karena harga komoditas yang mereka hasilkan sangat bergantung pada pasar. Alhasil petani hanya bertindak sebagai price taker dan bukan price maker,” kata Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta, Jumat (18/2/2022).

Felippa menambahkan, selain dihadapkan pada biaya produksi pertanian yang semakin mahal sehingga menekan keuntungan yang bisa mereka dapatkan, petani juga kurang didukung infrastruktur yang optimal, seperti irigasi, jalan untuk distribusi, maupun sarana penyimpanan dan pengolahan.

Pangan perlu dipahami sebagai suatu sistem menyeluruh yang tidak hanya berhenti dengan panen namun juga membutuhkan proses pasca-panen yang memadai. Sarana penyimpanan dan pengolahan, seperti pengeringan biji kopi atau jagung juga mempengaruhi mutu atau cold chain untuk bahan pangan dengan siklus hidup pendek seperti buah-buahan.

Inefisiensi produksi juga melambungkan biaya produksi sehingga membebani petani. Penelitian CIPS menemukan beberapa faktor yang berkontribusi pada tingginya biaya produksi, seperti keterbatasan lahan, keterbatasan akses petani kepada asupan pertanian seperti benih bermutu dan pupuk.

Rata-rata lahan petani petani di Indonesia yang sebesar 0,6 hektar menyebabkan biaya produksi yang tinggi dan tidak efisien jika dibandingkan dengan bila menggarap lahan pertanian dalam skala yang lebih besar.

Penelitian CIPS merekomendasikan beberapa langkah untuk meningkatkan kesejahteraan petani lewat input pertanian. Yang pertama adalah perlunya transisi dari mekanisme pupuk subsidi saat ini ke akses kepada direct payment (pembayaran langsung ke petani) untuk asupan pertanian.

Direct payment dapat menghilangkan disparitas harga karena subsidi, memberikan pilihan jenis input lebih banyak, menghindari perverse incentive dan menjadi insentif untuk pembelian sesuai kebutuhan optimal. Namun, bantuan direct payment ini juga perlu dilengkapi dengan ketentuan transisi dan phasing out.

Sementara itu, dukungan sisi pasokan asupan dapat dilakukan melalui pengembangan varietas unggul baru, relaksasi impor bahan baku pupuk/benih tetua/benih sumber. Selain itu, sektor pertanian juga membutuhkan investasi pada infrastruktur pendukung seperti jalan, listrik, saluran irigasi, internet, akses ke pelabuhan.

“Peningkatan kapasitas dan pengetahuan petani juga diperlukan melalui kegiatan penyuluhan, baik yang disediakan pemerintah maupun swasta,” tambahnya.

Dibutuhkan juga tata kelola kelembagaan dan usaha petani (Poktan, P3A) yang lebih formal dan profesional, serta evaluasi bantuan input dan peralihan dukungan secara berkala terhadap penyediaan barang publik dan perlindungan sosial.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement