Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image HeryWibowo

Membangun Komunikasi yang Memberdayakan

Eduaksi | Friday, 18 Feb 2022, 09:35 WIB

Berbicara tentang komukasi, adalah berbicara tentang kehidupan, tentang interaksi antar manusia, dan tentunya termasuk didalamnya adalah komunikasi orang tua dan anak.

Setiap orang tua, biasanya ingin memiliki anak yang kuat pendirian, memiliki kualitas berpikir yang baik, mampu mengambil keputusan dengan bijaksana, serta memiliki komitmen yang kuat terhadap keyakinannya. Namun pertanyaannya, apakah orang tuanya sudah melakukan langkah-langkah sistematis untuk membentuk impian dimuka, atau justru sebaliknya?

Seringkah kita mendengar

“Ah, memustuskan mau pake baju apa saja bingung, ...sudah ikuti Ibu, kamu pake baju ini saja”

“Masak membuka payung saja takut, sini sama Ayah dibukakan....”

“Mengerjakan PR begitu saja tidak bisa, ya sudah kamu cari jawabannya di internet, praktis, gak pake mikir dan gak pake lama..”

“Sudah Ibu saja yang masak, kalo kamu ikut-ikutan, nanti biasanya tambah kacau”

“Kamu gak usah ikut memutuskan, biar Ibu dan Ayah saja”

Dan mungkin masih banyak contoh lainnya.

Seyogianya, komunikasi adalah aktivitas yang timbal balik, sehingga pasti selalu ada aksi dan reaksi, atau ada stimulus dan respon (ada sebab, ada akibat).

ada dampak dari komunikasi (interpersonal) yang dilakukan sehari-hari hanya berujung pada dua dampak besar, yaitu apakah komunikasi itu memberdayakan (empowering, baca: mendorong lawan berbicara berpikir aktif, meningkatkan citra diri, membuat subyek semakin menyukai dan menghargai dirinya sendiri, dan lain sebagainya) lawan bicara, atau justru sebaliknya (disempowering, baca: merendahkan, menurunkan citra diri, membuat subyek semakin tidak menyukai dirinya, memotong kreativitas berpikirnya dan lain-lain)

David Rock (2007) mengkaji fenomena ini dan menyebutnya dengan “aha” momen. Hal ini kurang lebih sama dengan peristiwa Archimedes yang berteriak, keluar dari bak mandi, bertelanjang sambil berteriak “eureka”, karena menemukan hukum kekekalan. Artinya, sebuah komunikasi yang memberdayakan, dapat mendorong lawan bicara memiliki situasi “aha”-nya sendiri, yaitu momen disaat pemikiran terbaiknya keluar tanpa bisa ditahan.

King (2014) dalam learning psychology menyatakan hal ini sebagai insight learning. Pola ini mendorong individu untuk berpikir “out of the box” setelah fasilitas dan alat bantu untuk menghasilkan insight tersebut dipersiapkan. Artinya, individu dikondisikan sebagaimana fitrahnya sebagai mahluk berakal dan berpikir. Lingkungan sekitarnyalah yang kemudian menciptakan sebuah kondisi yang kondusif untuk terbangunnya daya analisis dan pola pemikiran terbaik.

Maka tanpa terasa, komunikasi anak dengan orang tua, juga akan berpotensi memiliki dua dampak tersebut. Alih-alih ingin membangun rasa percaya diri anak, komunikasi yang terjadi justru membuat anak semakin membenci diri sendiri, serta menghancurkan percaya dirinya. Atau alih-alih ingin membuat anak termotivasi untuk mandiri, malah membuat anak justru manja dan penuh ketergantungan.

Maka, selalu tidak ada salahnya, untuk memeriksa Ulang pola komunikasi yang sejauh ini telah dibangun. Karena, seringkali kita sudah merasa benar, namun kenyataan di lapangan, adalah sebaliknya.

Komunikasi yang Memberdayakan

Bentuk komunikasi memberdayakan, memiliki beberapa istilah. Salah satunya dikenal sebagai coaching communication. Hal ini karena jenis komuniktasi ini, banyak digunakan dalam proses coaching, yaitu interaksi sistematis dari seorang coach kepada coachee-nya, dalam rangka meledakkan potensi sang coachee.

Beberapa aktivitas utama dalam komunikasi yang memberdayakan, khususnya dalam interaksi orang tua dan anak adalah

1. Lebih fokus mendengarkan daripada berbicara. Salah satu inti komunikasi yang bertujuan memberdayakan adalah bahwa komunikan wajib menahan diri untuk lebih fokus mendengarkan. Ingat bahwa aktivitas ini ditujukan untuk mendorong lawan bicara (misalnya anak) mengeluarkan pikiran dan pendapat terbaiknya. Orang tua perlu percaya penuh bahwa sepanjang hidupnya, anak sudah memiliki banyak sekali simpanan informasi, ajaran agama, nasehat kebaikan, pesan moral, tata etika dan lain-lain. Namun faktanya, mereka jarang diberikan kesempatan terbaik untuk mengaplikasikannya. Mereka butuh latihan pengambilan keputusan terkait kapan dan dimana, serta bagaimana mengimplementasinya, pada konteks sosial tertentu. Maka, orang tua yang mampu menahan diri untuk mendengarkan aktif (active listening, not just hearing), akan memiliki kesempatan emas untuk membangun ini.

2. Lebih banyak bertanya dari pada menjelaskan/menasehati. Pada konteks hubungan orang tua dan anak, setelah anak memasuki tahap perkembangan tertentu, maka sang anak secara perlahan akan memasuki tahap kemampuan berpikir konkrit sekaligus abstrak yang terus berkembang mendekati kesempurnaan (sekitar pertengahan SD hingga memasuki SMP)

Aktivitas bertanya (dibandingkan menasehati langsung) akan memiliki banyak manfaat, seperti: (a) Mendorong anak berpikir dan menganalisa situasi, (b) Mendorong anak berani mengeluarkan pendapatnya sendiri, (c) Membangun situasi setara (baca: demokratis). Sehingga, melalui situasi dan pembiasaan ini, akan muncul secara perlahan rasa percaya diri anak, rasa menghormati orang tua sebagai lawan bicara, dan keberanian mengembangkan pendapat secara mandiri

3. Fokus pada potensi, bukan kesalahan. Disadari bersama bahwa, mencari kesalahan atau kambing hitam adalah hal yang sangat mudah, praktis dan cenderung menyenangkan. Namun dalam jangka panjang hal ini akan berdampak sangat buruk. Anak dapat merasa dirinya adalah biang kerok, sumber kesalahan dan aktor utama kekacauan keluarga. Aksi komunikasi yang memberdayakan, menghindari kegiatan mengorek kesalahan masa lalu (walaupun tidak menafikannya).

Jika sebuah kekacauan terjadi, misalnya setelah belajar masak dapur sangat berantakan. Maka kalimat yang keluar (biasanya) adalah “Kenapa dapur Mama berantakan, pasti kamu yang bikin kacau ya!” (why question), atau “lihat! Semua kotor, sudahlah, kamu gak usah ikut-ikutan masak, biar Ibu saja!”. Alih-alih berkata demikian, pada aksi komunikasi yang memberdayakan, sejatinya sang oran tua memiliki beberapa pilihan frasa yang lebih baik, seperti

“Wah, rame ya di dapur.. kira-kira biar bersih kembali harus bagaimana ya?” (what question)

“Bagaimana, seru tidak belajar masaknya?, Nah, kalo dapur berantakan seperti ini enak tidak dilihat ya?, lalu, apa rencana kamu agar dapur ini bersih kembali? (what question)

“Kamu kan gak suka tikus dan kecoa, kira-kira kalo dapur kotor begini, mereka bakal datang tidak ya?”

“Apa rencana terbaik kamu untuk membuat dapur ini kinclong kembali?”

Perhatikan bahwa, sejumlah kalimat yang dilontarkan dapat memberikan dampak yang berbeda. Orang tua tidak (harus) selalu berfokus pada kesalahan/keburukan/kekacauan yang terjadi. Alih-alih demikian, mereka dapat fokus pada potensi anak untuk membersihkan kembali, penanaman nilai kebersihan, menguatkan rasa tanggung jawab dan lain-lain. Maka dalam hal ini, yang perlu dikembangkan adalah pertanyaan apa (what question) untuk mendorong proses berpikir konstruktif, alih-alaih pertanyaan mengapa (why question) yang justru membuka luka, serta mencari kambing hitam sebagai pihak yang dituduh bersalah.

Maka, tidak ada salahnya orang tua selalu membuka pikirannya (open minded) untuk menggali ilmu pengasuhan (parenting knowledge). Durrant (2007) menjelaskan bahwa semakin orang tua memiliki ilmu yang baik tentang pengasuhan, semakin besar kemampuan mereka mendidik anak, sehingga dapat tumbuh dan berkembang sesuai yang diharapkan.

Daftar Pustaka

Durrant, Joan E. 2007. Positive Discipline: What it is and how to do it. Thailand. Global Initiative & Save the Childern

King, Laura A. 2014. Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Apresiatif (judul asli: The Science of Psychology-An Appreciative View) Penerbit Salemba Humanika (McGraw-Hill). Edisi Tiga, Buku Satu. Cetakan Kedua

Rock, David. 2007. Quite Leadership: Enam Langkah Mengubah Kinerja Demi Kesuksesan Perusahaan Anda. Jakarta. Gramedia PUstaka Utama.

Gross, Richard. 2013. Psychology: The Science of Mind and Behaviour (Buku Kedua – Edisi Keenam). Yogyakarta. Cetakan Pertama

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image