Jumat 18 Feb 2022 08:54 WIB

Mantan KSAU: Pembelian 42 Jet Rafale Dilakukan pada Saat yang Tepat

Wilayah udara RI beririsan dengan kawasan rawan konflik di Laut China Selatan.

Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) periode 2002-2005, Marsekal (Purn) Chappy Hakim.
Foto: Tangkapan layar
Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) periode 2002-2005, Marsekal (Purn) Chappy Hakim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadaan 42 pesawat Dassault Rafale, mendapat apresiasi dari banyak pemerhati dirgantara. Salah satunya dari Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) periode 2002-2005 yang juga Chairman Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI), Marsekal (Purn) Chappy Hakim.

Chappy menyebut, momentum pembelian jet tempur buatan Prancis itu sangat tepat. "Sekarang saat yang tepat untuk membeli pesawat fighter jet aircraft. Seluruh pabrik pesawat terbang tempur di permukaan bumi ini memang tengah cuci gudang alias menjual obral produknya," kata Chappy dalam diskusi daring bertema 'Menyongsong Pesawat Rafale' yang diadakan PSAPI di Jakarta, Kamis (17/2/2022).

Baca Juga

Chappy menjelaskan, pengadaan 42 pesawat Rafale telah memecahkan rekor pembelian pesawat tempur canggih dalam sejarah pertahanan udara Indonesia sejak 1965. Meskipun begitu, kata dia, pesawat tempur hanyalah salah satu dari subsistem besar pertahanan udara. Sementara pertahanan udara adalah bagian integral dari sistem nasional pertahanan udara.   

Menurut Chappy, jika Indonesia ingin meningkatkan kemampuan sistem pertahanan udara, selain pengadaan pesawat tempur, juga wajib mampu menguasai beberapa wilayah udara di Tanah Air yang saat ini masih rawan. "Realita dari sebagian wilayah udara kita yang berada di posisi rawan di Perairan Selat Malaka, Natuna, dan Kepulauan Riau, misalnya masih belum berada dalam kekuasaan RI. Wilayah udara tersebut sangat beririsan dengan kawasan rawan konflik di Laut China Selatan sekarang ini," ujarnya.

 

Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan (Sekjen Kemenhan), Marsekal Madya (Marsdya) Donny Ermawan Taufanto menjelaskan, alasan mengapa Kemenhan akhirnya memilih produk pertahanan Prancis dalam memperkuat alat utama sistem senjata (alutsista). "Hubungan Indonesia-Perancis yang relatif tidak pasang surut menjadi alasan menjadikan Prancis sumber pengadaan alutsista bagi Indonesia," kata mantan Pangkoopsau II tersebut.

Selain itu, sambung Donny, faktor kualitas juga menjadi hal penting dalam pemilihan alutsista. Rafale dinilai menjawab tantangan teknologi. Alasan lainnya, kata Donny kondisi alutsista Indonesia yang sudah cukup berumur. Jika tidak segera dilakukan pembenahan, dikhawatirkan mengancam pertahanan Indonesia ke depannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement