Jumat 18 Feb 2022 06:25 WIB

Kuwait Izinkan Tentara Perempuan Bertempur tanpa Senjata

Izin ini berasal dari semangat perempuan Kuwait dalam bela negara kala di serang Irak

Rep: Mabruroh/ Red: Muhammad Subarkah
Tentara perempuan Kuwait
Foto: MEE
Tentara perempuan Kuwait

IHRAM.CO.ID, KUWAIT CITY — Tentara Wanita Kuwait menolak kebijakan diskriminatif atas larangan kepemilikan senjata bagi tentara wanita yang ikut bertempur. Menurut aktivis, kebijakan baru ini adalah sebuah langka mundur bagi tentara wanita.

Ditambah lagi kementerian pertahanan juga memutuskan bahwa perempuan di angkatan bersenjata, tidak seperti warga sipil, harus mengenakan penutup kepala. Langkah tersebut telah memicu reaksi keras di media sosial di Kuwait, yang biasanya dianggap sebagai salah satu masyarakat paling terbuka di negara Teluk.

"Saya tidak tahu mengapa ada batasan untuk bergabung dengan tentara," kata seorang guru olahraga dan anggota komite wanita Asosiasi Sepak Bola Kuwait, Ghadeer al-Khashti dilansir dari Alaraby, Jumat (18/2).

"Kami memiliki semua jenis wanita yang bekerja di semua bidang, termasuk kepolisian,” tambahnya.

Ghadeer al-Khashti berujar, bahwa ibunya pada 1990 telah membantu perlawanan ketika diktator Irak Saddam Hussein menginvasi Kuwait dan mendudukinya selama tujuh bulan sebelum diusir oleh koalisi internasional yang dipimpin AS. Ketika itu, ibunya selalu menyembunyikan senjata di bawah abayanya dan membawanya ke anggota perlawanan Kuwait. 

“Dan ayahku mendukungnya. Jadi saya tidak mengerti atas dasar apa mereka melihat perempuan seolah lemah,” ujarnya.

Sebelumnya, pada Oktober tahun lalu, Kementerian memutuskan untuk mengizinkan perempuan ikut bertempur. Tetapi kemudian memberlakukan pembatasan setelah menteri pertahanan diinterogasi oleh anggota parlemen konservatif Hamdan al-Azmi.

Azmi, yang didorong oleh fatwa atau fatwa agama Islam, berpendapat bahwa memiliki perempuan dalam peran tempur "tidak sesuai dengan kodrat perempuan".

Kepala Masyarakat Budaya dan Sosial Wanita Kuwait, Lulwa Saleh al-Mulla mengatakan pembatasan kementerian itu diskriminatif dan inkonstitusional.

"Kami memiliki wanita martir yang membela negara mereka atas kemauan mereka sendiri. Tidak ada yang memerintahkan mereka untuk melakukan itu selain cinta untuk negara mereka,” ujarnya.

"Kami adalah negara Muslim, itu benar, tetapi kami menuntut hukum tidak tunduk pada fatwa. Kebebasan pribadi dijamin dalam konstitusi, yang menjadi dasar hukum negara,” tambah al-Mulla.

Perempuan Kuwait mendapatkan hak untuk memilih pada 2005 dan telah aktif baik di kabinet maupun parlemen, meskipun mereka kurang terwakili di keduanya.

Tidak seperti kebanyakan negara Teluk, Kuwait dikenal memiliki panggung politik yang aktif, dengan anggota parlemen secara teratur menantang pihak berwenang.

Awal bulan ini, lusinan wanita Kuwait melakukan protes terhadap penangguhan retret yoga wanita yang dianggap "tidak senonoh" oleh kaum konservatif. Salah satunya adalah Azmi yang dalam postingan Twitternya, mengecam retret itu sebagai berbahaya dan asing bagi masyarakat konservatif Kuwait.

Para pengunjuk rasa perempuan membawa plakat yang mengecam "eksploitasi masalah perempuan" dalam politik, serta "rezim fatwa" dan "perwalian terhadap perempuan".

“Perdebatan tentang aturan baru tentara untuk perempuan telah menjadi tidak rasional,” kata Profesor bahasa Inggris di Universitas Kuwait, Ibtihal al-Khatib.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement