Jumat 18 Feb 2022 05:00 WIB

Perjalanan Menjadi Mualaf Seorang Perwira Intelijen Soviet

Perwira intelijen Uni Soviet menjadi mualaf.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Perjalanan Menjadi Mualaf Seorang Perwira Intelijen Soviet. Foto: Sherefovic Hakimov
Foto: TRT World
Perjalanan Menjadi Mualaf Seorang Perwira Intelijen Soviet. Foto: Sherefovic Hakimov

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Sherefovic Hakimov merupakan seorang perwira intelijen Soviet pada tahun-tahun yang lalu. Ia pernah bertempur bersama pasukan Komunis Soviet melawan mujahidin Afghanistan pada 1980-an, namun takdir hidupnya berubah secara drastis setelah ia menjadi tawanan perang.

Dilansir di TRT World, Kamis (17/2/2022), Sherefovic Hakimov yang kini berusia 56 tahun merupakan mantan personel militer Soviet. Dia tidak lagi mengidentifikasi dirinya sebagai orang Rusia. Kini, ia tinggal di kota Herat Afghanistan sebagai seorang Muslim dan seorang Afghanistan.

Baca Juga

Pada tahun 1987, sebagai bagian dari pasukan invasi Uni Soviet, ia menjadi tawanan perang. Saudaranya, Alexandre, adalah seorang wakil Rusia di parlemen negara itu, dan saudara perempuannya, Mabuba, bekerja sebagai penasihat militer Soviet. Orang tuanya juga pejabat tinggi di tentara Soviet. Ayahnya, seorang etnis Armenia, adalah seorang jenderal dan ibunya, seorang Yahudi Ukraina, bekerja untuk intelijen Soviet.

Pada tahun 1984, Hakimov dikerahkan ke Afghanistan sebagai perwira intelijen militer Soviet. Setelah tiga tahun, dia terluka parah dalam baku tembak dengan mujahidin Afghanistan. Terluka dan kehilangan semangat, ia akhirnya menjadi tawanan perang.

“Ada sekitar 120 tentara Soviet yang hilang, dan Hakimov adalah salah satunya,” kata Koresponden Kabul dari Anadolu Agency, Bilal Guler, yang mewawancarai Hakimov.

Dia menyebut bahwa tidak ada informasi konkret tentang tentara Soviet yang hilang itu, dan tidak satupun dari mereka yang tampaknya dapat kembali ke Soviet atau Rusia saat ini. Tidak jelas apa yang terjadi pada mereka.

Hakimov mengatakan bahwa saat ia ditawan, pasukan Afghanistan memerintahkannya untuk menjadi seorang Muslim. “Mereka juga mendorong saya untuk mengatakan syahadat,” kata Hakimov yang kini bernama Syekh Abdullah.

Saat mengucapkan kalimat syahadat, Hakimov berpikir bahwa Nabi Muhammad akan datang dan menentukan apa yang harus dilakukan dengannya.

Bermimpi Islam

Hakimov tidak menjadi seorang Muslim sampai ia bermimpi di mana seorang pria berjanggut putih juga menasihatinya untuk masuk Islam. Setelah itu, ia memutuskan untuk mengadopsi agama Islam dan budaya Afghanistan.

“Saya telah berada di Afghanistan selama hampir 40 tahun. Saya orang Afghanistan sekarang. Saya memiliki kewarganegaraan Afghanistan. Saya sekarang seorang Muslim. Saya bukan orang Rusia. Saya bukan milik orang Rusia,” kata Hakimov.

Mantan tentara Soviet itu berpakaian seperti orang Afghanistan dan fasih berbahasa Pashto dan Persia, dua bahasa dominan di Afghanistan. Hakimov juga berteman baik dengan mantan musuhnya, Katali.

“Dia adalah musuh kami saat itu. Kami juga musuhnya. Jika kami menangkapnya, kami akan mengeksekusinya. Jika kami jatuh ke tangannya, mungkin dia akan mengeksekusi kami. Tapi kini kami menjadi teman setelah saya masuk Islam, dia bahkan memberikan saya sebuah rumah,” kata Hakimov.

Ketika dia berusia 25 tahun, Hakimov menikahi seorang wanita Afghanistan yang meninggal saat melahirkan seorang gadis bernama Menice. Istri keduanya juga meninggal karena kanker perut tahun lalu. Dengan kehilangan istri keduanya, Hakimov menjadi kecewa dengan kehidupan.

“Setelah istri saya meninggal, saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi,” ujar dia.

Rusia, negeri asing untuk Hakimov

Hakimov yang menderita kehilangan ingatan dan penyakit lain akibat cedera masa lalunya, telah kehilangan paspor Soviet dan barang-barang miliknya, termasuk foto-foto anggota keluarganya.

Bahasa Rusianya menjadi berkarat seiring waktu, dan karena kondisi kesehatannya, dia telah melupakan banyak kata dan frasa. Namun, dia masih menguasai bahasa Armenia asalnya dengan baik. Kedua orang tuanya sudah meninggal. Jauh dari saudara-saudaranya selama beberapa dekade telah membebani mentalnya. Ia sangat merindukan kakak dan adiknya.

“Kami adalah manusia. Mustahil untuk tidak merindukan mereka,” kata Hakimov.

Dia mengungkapkan keinginannya untuk melihat mereka. Terakhir kali dia berbicara dengan saudara perempuannya melalui telepon adalah dua tahun lalu. Meskipun dia sadar bahwa banyak penyakitnya dapat diobati di Rusia, dia masih tidak yakin bagaimana pemerintah akan memperlakukannya jika dia kembali.

Baca juga : Gus Baha: Sunan Giri Sebut Wayang Haram, Sunan Kudus Beri Solusi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement