Kamis 17 Feb 2022 09:43 WIB

KPU-Bawaslu: Antara Integritas dan Lobi Politik?

Generasi milienal akan mencatat mampukan KPU dan Bawaslu kali ini berintegritas

Petugas membawa kotak suara ketika melakukan pendistribusian logistik Pemilu 2019 di Kampung Kayu Pulo, Jayapura, Papua, Selasa (16/4/2019).
Foto: Antara/Gusti Tanati
Petugas membawa kotak suara ketika melakukan pendistribusian logistik Pemilu 2019 di Kampung Kayu Pulo, Jayapura, Papua, Selasa (16/4/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Verdy Firmantoro, Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi FISIP UI;Dosen FISIP UHAMKA & Analis Komunikasi Politik

Ketika dalil “integritas” dijadikan alat afirmasi dan legitimasi kepentingan politik di mata publik, di situlah sejatinya kemenangan ditentukan oleh proses komunikasi dan negosiasi. Alur prosedural berjalan mengikuti gerak normatif, tapi persetujuan di balik layar tunduk pada kesepakatan-kesepakatan politik. 

Apakah itu keliru? Ini bukan persoalan benar atau salah. Ini realitas. Tak perlu jaim. Ranah etik seringkali menarik menjadi perbincangan, tapi tak menarik dalam dialektika kepentingan. Dalam konteks itu, KPU dan Bawaslu bukan hanya menjadi penyelenggara teknis kepemiluan, tapi diproyeksikan lebih daripada itu sebagai salah satu “nyawa” demokrasi elektoral. 

Lantas, saat tarik menarik kepentingan mengemuka, apakah faktor integritas masih punya tempat? Bagaimana melobikan orang-orang yang berintegritas diterima oleh para elite politik? Bagaimana memengaruhi elite politik agar mengarusutamakan integritas? Mengingat di saat yang sama, semua sedang punya agenda dan kepentingan untuk 2024.

 

Eliminasi Kepentingan 

Colin Hay, seorang profesor analisis politik di Departemen Ilmu Politik Universitas Sheffield pernah menulis Why We Hate Politics yang menarasikan konotasi negatif politik. Tulisan itu pernah memenangkan W.J.M Mackenzie Book Prize for Political Science tahun 2008. Dalam uraiannya, Hay menyebut bahwa makna politik yang diartikan pengawasan publik, musyawarah dan akuntabilitas, bergeser ke makna bermuka dua, korupsi, inefisiensi dan campur tangan yang tak semestinya di ruang publik.

Berangkat dari pemikiran Hay itu, saya ingin memberikan kontekstualisasi menyoal pertarungan kepentingan dalam perebutan jabatan publik. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), di satu sisi memegang mandat aspirasi rakyat, di sisi lain sebagai perpanjangan tangan partai politik. Berkaitan dengan hal itu, tentu parlemen menjadi arena yang strategis dalam pengambilan keputusan termasuk menentukan siapa yang layak menjadi komisioner KPU dan Bawaslu.

Di ruang parlemen, semua kepentingan bertemu, tapi tak semuanya bersatu. Ada pertimbangan-pertimbangan yang merujuk pada ketetapan regulasi, ada juga pertimbangan soal kalkulasi. Di situlah politik berjalan mencari irisan-irisan kesepakatan dan mengeliminasi kepentingan yang tak tersepakati. Sebab politik adalah soal pilihan, memilih dan menetapkan tujuh anggota KPU dan lima anggota Bawaslu untuk selanjutnya diusulkan ke Presiden.  

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement